Translate

Selasa, 01 Juli 2014

Sastra Jawa Modern Pascakemerdekaan

Sastra Jawa Modern Pascakemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia menjadi penanda penting dalam sejarah kesusastraan Jawa. Pada masa penjajahan, pemerintahan kolonial telah mengontrol segala hal terkait bahan bacaan, termasuk sastra, yang juga digunakan sebagai bahan ajar di sekolah formal kolonial. Ras (1985) menyebut, keinginan untuk “memerdekakan” karya sastra muncul setelah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka.
Telah lama sastra Jawa hidup dalam ragam tradisional. Secara turun-temurun, para pujangga di keraton menggunakan tembang macapat sebagai wadah penciptaan. Beberapa karya yang termasyhur adalah Wulangreh(karya Pakubuwana IV, 1768-1820), Kalatidha (karya Ranggawarsita, 1802-1873), dan Wedhatama (karya Mangkunegara IV,1811-1881).
Kita tahu, tembang macapat mengharuskan penciptanya untuk taat pada guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan yang, bila hal itu tidak ditaati, akan berpengaruh pada distribusi makna. Macapat juga mengandung bahasa arkais dan butuh penerjemah untuk dapat memahami makna yang terkandung. Karena diabdikan untuk kekuasaan dan digunakan sebagai alat pencitraan penguasa, sastra Jawa klasik menjadi minim kritik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Meski kemudian ditemukan sejumlah serat yang berisi kritik itu, namun kritik terhadap datangnya Islam yang dianggap menggoyahkan kebudayaan Jawa, sebut saja serat Gatholoco, danDarmagandhul (Ki “Kalamwadi”).
Sejauh mana sastra dapat merepresentasikan keadaan zaman dan sampai di mana sastra dapat dijadikan rujukan sejarah? Dua pertanyaan ini hampir pasti mengemuka ketika mendudukkan sastra sebagai bagian yang terpisahkan dari apa yang saya sebut sebagai kahanan.
Kita sepakat, pengarang adalah penguasa dalam dunianya sendiri, dunia sastra yang bakal dia ciptakan. Namun, sebebas apa pun dia, tetaplah membutuhkan medium bahasa yang, secara konvensional, digunakan sebagai medium penciptaan sastra. Dalam kondisi macam inilah, pengarang harus bergulat dengan kahanan: membaca, menyuguhkan, hingga menafsir keadaan. Keadaan, yang kemudian bakal menjadi sejarah, hanya menjadi “modal” awal pengarang untuk berkarya.
Sastra Jawa modern—Ras (1985) menyebutnya sebagai “sastra Jawa gagrag anyar” dan “sastra Jawa model baru” —diciptakan sebagai upaya perlawanan terhadap sastra Jawa tradisionalis yang dinilai mengekang itu. Damono (1993) mendeskripsikan, sastra Jawa disebut “modern” karena dalam penyampaiannya telah menggunakan huruf latin dan didistribusikan (diperbanyak dan dibaca) ke luar keraton.
Sastra Jawa modern ditengarai mulai muncul ketika Padmosusastro membuat Serat Rangsang Tuban (1912) yang berwujud novel—tidak menggunakan medium tembang. Dia menyebut diri sebagai tiyang mardika ingkang marsudi dhateng kasusastran Jawi (Panjebar Semangat, 1961). Setelah itu, pintu penciptaan sastra Jawa modern seakan terbuka lebar. Santosa (dalam Suratno, 2013) menyebut, dalam awal abad itu, buku berbahasa Jawa yang diterbitkan Balai Pustaka cukup banyak karena mayoritas pribumi yang berpendidikan formal Barat adalah masyarakat Jawa.
Santosa menyebut novel yang diterbitkan Balai Pustaka ketika itu antara lain Katresnan, Saking Papa dumugi Mulya, Gawaning Wewatekan, Gambar Mbabar Wewados, Pepisahan Pitu Likur TaunPameleh, dan Garang Garing. Meski kemudian, novel tersebut sarat akan muatan kebijakan pemerintah Belanda dan kelangsungan penjajahan di Indonesia. Di samping itu, novel-novel tersebut bisa dibilang sekadar peniruan dari budaya Belanda.
Bukan berarti penciptaan tembang macapat lenyap setelah kemerdekaan. Tembang macapat, lelagon dolanan anak, hingga gending-gending Jawa—yang memuat syair-syair berbahasa Jawa—masih diciptakan oleh para pengarang yang hidup setelah kemerdekaan. Hal itu karena masyarakat Jawa memiliki tradisi lisan yang kuat. Sastra Jawa tidak hanya tertulis, tapi juga ditembangkan pada banyak kesempatan berkumpul (Ras, 1985). Itulah mengapa, masih banyak para pengarang sastra Jawa yang berkarya dengan medium sastra lisan ini.
Syahdan, berawal dari kesadaran pascakolonial, apa yang disuguhkan pengarang pun menjadi lebih “merdeka”. Tak terhindarkan lagi hegemoni Indonesia maupun Barat yang asyik-masyuk ke dalam sastra Jawa. Dan, setelah kemerdekaan, sejauh mana pengarang mampu menyuguhkan kahanan dalam karyanya dan sampai di mana karya itu mampu “memotret” kahananpascakemerdekaan?
 ***
Munculnya sastra Jawa modern pada mulanya menjadi bahan ejekan oleh para kaum bangsawan yang feodalistis. Mereka menganggap sastra Jawa yang mulai berkembang adalah “bacaan anak-anak dan tidak ada nilai sastranya”. Adapun yang dipandang sebagai karya yang layak disebut sebagai karya sastra, hanyalah karya sastra Jawa yang lahir dalam tembok keraton yang ditulis oleh para pujangga kerajaan (Utomo, 2002). Utomo mendeskrispsikan pada awal perkembangannya di era pascakemerdekaan, sastra Jawa modern mengandung unsur eskampisme.
Eskapisme merupakan sebuah keadaan atau sikap memasuki alam khayal atau hiburan untuk melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan atau masalah yang tidak menggembirakan (Utomo, 2002). Dalam karya sastra, eskapisme kerap dikaitkan dengan sastra populer yang diciptakan dengan tujuan menghibur. Utomo menyebut karya sastra Jawa berwujud cerita pendek (cerkak) dan novel, yang tercipta pada masa-masa awal pascakemerdekaan, banyak yang mengandung unsur eskapisme ini.
Damono (1993) menyebut jika sastra Jawa populer dengan tema tersebut merupakan “sastra pelarian”, tempat pembaca berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari yang digolongkan sebagai keburukan. Latar yang indah, dua tokoh yang rupawan, dan cakapan yang cekatan merupakan anasir adegan yang mampu menciptakan semacam dunia pelarian bagi pembaca. Damono pun memberikan contoh dalam cerkak Sampjuh (Panjebar Semangat, 17 Maret 1956).
Njono banjur mak prek, melu lubgguh ing satjedake. Karepe Warsinem arep nglungani. Ning lagi bae menjat, tangane bandjur digeret. Bareng lungguh maneh, djanggute bandjur dijdiwit mak tjetiiiiit. Warsinem sambat, karo mlerok. Atine Njono saja tab-taban. Warsinem bandjur ndingkluk, dolanan krikil kang ana ing lemah.
Membeludaknya sastra Jawa roman picisan atau panglipur wuyung dikarenakan sebagai upaya pelarian dari gejolak sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada awal-awal kemerdekaan. Hal itu tentu didorong oleh berkembangnya penerbitan majalah-majalah berbahasa Jawa yang mulai menjamur. Selain Panjebar Semangatyang terbit di Surabaya pada 1933 dan Jaya Baya yang mulai terbit di Kediri pada 1945, setelah kemerdekaan, majalah yang terbit adalah Djaka Lodhang (Yogyakarta, 1967), Gumregah (Surakarta, 1967), Kunthi (Jakarta, 1969), Dharma Kanda (Surakarta, 1967), Dharma Nyata (Surakarta, 1971), Parikesit (Surakarta, 1971),Kumandhang (Jakarta, 1973).
Utomo juga menjelaskan, ciri utama dari sastra Jawa panglipur wuyung adalah dicetak tipis dan seukuran saku sehingga membuat harganya murah. Unsur-unsur intrinsik, misalnya kisah yang ditampilkan, adalah seputar percintaan dengan alur dan bahasa yang sederhana. Semua unsur itu membuat isinya mudah dipahami.
Selain dapat dijelaskan melalui ciri-ciri yang ditampilkan oleh roman panglipur wuyung, dominannya fungsi hiburan dapat dijelaskan pula dengan pemahaman historis tentang situasi dan kondisi negara ketika itu. Dalam perkembangannya, sastra panglipur wuyung tidak sebatas pada novelet yang dicetak tipis dan dengan kualitas rendah, tapi kemudian berkembang menjadi sastra yang bertema erotis didukung dengan ilustrasi gambar yang seronok (Utomo, 2002).
1
Gambar 1: Sampul depan novelet “Neng Ati” karya Any Asmara. Foto: repro buku “Eskapisme Sastra Jawa” (Utomo, 2002).
Novelet yang terbit dan kemudian dikaji oleh Utomo di antaranya Bocah Alim (1959), Wong kang Nyalawadi(1959), Gara-gara Rok Mepet Rambut Sasake (1966), Mekar ing Mangsa Panen (1966), dan Prawan Kaosan(1973).
Pada masa yang kurang lebih sama, pergumulan terhadap realitas ditanggapi secara lebih serius dalam kesusastraan Indonesia. Kita tahu, tahun 1960-an merupakan tahun-tahun paling panas dalam gejolak politik di Indonesia. Alhasil, tema-tema pergerakan dan perlawanan secara riil menjadi hal yang lebih ditonjolkan. Balai Pustaka setidaknya menerbitkan novelet Masa Bergolak (1968), Aku Penerus Juangmu (1978), Pijar-pijar Api Perang (1982), Pahlawan dan Kucing (1987), dan Anak dalam Perang (1988).
***
Ketiadaan hal serupa dalam sastra Jawa, termasuk kritik dan upaya perlawanan terhadap pemerintahan, tiada lain karena konvensi budaya Jawa tidak berada dalam keterbukaan kritik. Bukan tanpa alasan, masyarakat Jawa punya prinsip alon-alon waton kelakon dan tidak terbiasa dengan perubahan yang serba mengejutkan (Mulder, 1984). Secara turun-temurun, budaya feodalistis yang menghormati liyan karena lebih berumur, senioritas, dan jabatan—bukan karena prestasi, diajarkan sebagai nilai yang diyakini keluhurannya. Dan, alih-alih merespon keadaan dan berbagai pergolakan keadaan ketika itu, sastra Jawa justru “menyimpang” dan melawan dengan cara “memilih jalur lain”, yakni genre sastra Jawa panglipur wuyung.
Konvensi budaya merupakan salah satu bagian terpenting dalam membentuk formula dalam sebuah karya sastra (Cawelty, 1976). Yang dimaksud konvensi budaya dalam karya sastra adalah hal-hal yang telah dipahami oleh masyarakat penikmat karya sastra itu. Misalnya, wanita Jawa yang ideal adalah yang selalu menurut pada suami, menjadi ibu rumah tangga, dan tidak neka-neka. Pria Jawa ideal adalah mereka yang dadi wong: mampu menghidupi keluarga, berkecukupan, dan menjadi pemimpin keluarga yang baik.
Dalam sastra Jawa modern, termasuk juga sastra dalam medium bahasa lainnya, formula menjadi penting di saat para pengarang ingin karyanya dibaca banyak orang. Hal-hal yang sebenarnya telah diketahui oleh masyarakat Jawa, menjadi modal utama untuk menciptakan karya yang formulanya sama, sebanyak-banyaknya. Karena pada kenyataannya, sastra modern yang kemudian berorientasi pada kepopuleran itu menuntut untuk tidak terlalu memberatkan pembaca dalam usaha penikmatannya. Penikmat tidak bisa mencari pandangan segar, tidak bisa mencari arah baru yang menuntunnya keluar dari kekangan konvensi (Damono, 2000).
Meski kemudian bila dilihat dari perspektif lain, perubahan budaya akibat kolonialisme bersifat sangat kompleks. Bandel (2013) menyebut dalam konteks kolonial, budaya penjajah dan terjajah bukan sebagai kekuatan yang setara. Sebagai akibat dari ketidaksetaraan itu, Bandel menjelaskan di dunia ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kesenian, model dan standar Barat kini digunakan secara universal, sedangkan pengetahuan lokal terpinggirkan atau tereksotiskan. Dalam perspektif Bandel, sastra Jawa modern panglipur wuyung juga dapat dimaknai sebagai respon terhadap kahanan pergolakan kebudayaan pascakolonial.
***
Sastra Jawa modern yang hidup pada ranah konvensi budaya Jawa yang mengajarkan masyarakatnya bertindak untuk tidak sepenuhnya terbuka, banyak ditemukan tanda yang sangat mungkin menuai penafsiran yang beragam. Tidak terkecuali untuk sastra Jawa klasik, yang harus diterjemahkan terlebih dahulu untuk memahami isi dan maknanya yang rumit, adalah alasan mengapa sastra itu dianggap sebagai sastra adiluhung (Damono, 2000). Apa yang diungkapkan pengarang dalam karya sastra yang dibuat, disamarkan dalam karyanya.
Berdasar hal tersebut, dalam budaya Jawa muncul pula konvensi bahwa semakin samar apa yang diungkapkan, akan semakin menunjukkan kedewasaan manusia Jawa. Sedangkan yang belum mampu melakukan hal tersebut, dianggap durung Jawa, tidak njawani, atau belum dewasa dari sisi kawruh atau pengetahuan (Zustiyantoro, 2012).
Kini, konvensi budaya itu masih senantiasa digunakan pada sastra Jawa modern. Karena bagaimanapun, sastra Jawa merupakan sastra nasihat, yang di dalamnya penuh dengan wejangan yang berguna bagi kehidupan masyarakat pembacanya (Damono, 2000). Akan tetapi, dalam kaitannya dengan sastra yang lebih populer, sastra Jawa hadir dengan berbagai penyederhanaan simbol. Di era modern, pengarang semakin perlu melakukan hal itu supaya karya yang mereka buat dibaca oleh banyak orang.
Hingga kini, konvensi budaya Jawa masih tergambarkan dalam karya sastra Jawa modern. Pada 14 September 2013, misalnya, Panjebar Semangat memuat cerkak Ngempet karya Suparto Brata. Ketidakberdayaan untuk menyuarakan pendapat dan melawan, diceritakan dalam cerita itu. Saya menyuguhkan analisis cerkak itu dengan teori semiotik model Subur Wardoyo (2005).
2
Gambar 2: Ilustrasi gambar pada cerkak “Ngempet” karya Suparto Brata (Panjebar Semangat, 2013).
Berdasar pembacaan saya, narasi Ngempet bertumpu atas binary opposition: hidup dalam ketertundukan versushidup dalam kebebasan. Oposisi tersebut menjadi pancang bagi sebuah struktur skema naratif dasar: [Aku duduk--Aku berlari--Aku mengajak ngobrol dan berkirim pesan singkat].
Skema naratif dasar ini berkisar dari tokoh Aku yang hampir selalu dikisahkan pada posisi duduk. Pada awal cerita, Aku naik angkutan dari rumah Rungkut ke Jayabaya dan kemudian naik ojek dari Jayabaya ke Osowilangun. Setelah itu, Aku melanjutkan perjalanan dengan naik bus dari Osowilangun ke Bojonegoro. Duduk merupakan ketertundukan dan ketidakmampuan Aku pada rasa ingin kencing yang sudah dirasakan semenjak dari pos ojek Osowilangun.
Selain itu, pada pergantian naik angkutan satu ke angkutan yang lain, Aku juga selalu berlari. Termasuk ketika Aku meminta kondektur bus menunggu sejenak di terminal Bunder, karena Aku sudah tidak tahan lagi ingin kencing. Namun setelah masuk ke dalam toilet, karena punya kebiasaan sulit kencing, Aku kesulitan dan tidak tuntas dalam mengeluarkan air kencing. Hal itu dialaminya:
[...] Mlebu toilet, clana dakbukak, kathok njero dakcincingke, dakcurake… ndadak angel metune. Pancen aku duwe penyakitan kaya ngono. Angger mbayangake arep mlebu jedhing, rasane ora kena diempet, bareng wis cucul, diedenke uyuh angel metune. Ngono uga ing toilet kuwi. Metune mung sithik-sithik, kudu sabar yen ngenteni nganti tuntas. Ning ya ora ndang tuntas.
Sepanjang cerita, Aku juga melakukan aktivitas berbincang dengan tukang ojek dan orang di bangku sebelah di dalam angkot dan bus. Hal ini dilakukan agar Aku sedikit terlupakan pada kencing yang selalu ditahan. Selain itu, Aku juga sesekali berkirim pesan kepada orang yang bakal menjemput di terminal Bojonegoro.  Kondisi macam ini nampak:
Aku SMS Mas Hoery, “Numpak bis Moedah. Aku gebled pipis, ning bise wis mlayu banter ing jalan tol.”
Dunia kebebasan sebagai oposisi biner yang ingin dibangun dalam cerita, berupa keadaan di sekitarnya. Di saat Aku hanya bisa duduk dan ngempet, tukang ojek bebas bercerita tentang kisah hidupnya yang tidak mendapat balsem (bantuan sosial sementara). Setelah itu, di dalam angkutan, Aku juga melihat orang dengan bebas naik-turun kendaraan yang ia tumpangi. Kebebasan juga tercermin ketika datang dua orang pengamen cantik yang bersuara merdu. Sebuah hal paradoks dengan keadaan Aku yang tak bisa berbuat banyak karena menahan rasa ingin kencing.
Berdasar hasil analisis, Aku yang bersedia menumpang ojek dan mengatakan “Nggih, pun, ngga!” sebagai signifier utama dalam cerkak ini. Kesanggupan Aku untuk naik ojek merupakan index dari seluruh beban psikologis bawah sadar tokoh Aku. Kalimat itu manandaskan bahwa untuk menuju Osowilangun, Aku memutuskan untuk naik ojek daripada naik bus kota. Hal itu dia lakukan karena selain tukang ojek yang mampu membujuk, Aku juga meyakini bahwa naik ojek akan memangkas waktu tempuh. Dan, hal yang paling utama, tokoh Aku ketika itu telah merasakan ingin kencing, selain waktu untuk menunggu bus kota juga lama. Tanpa berpikir panjang, Aku segera berkata, “Nggih, pun, ngga!” ketika tukang ojek menawarkan jasanya. Tukang ojek pun berkata:
[...] “Ojek mawon, Pak. Dangu. Sajam melih baru enten. Sabtu bise dikurangi. Ngojek kula Rp 20.000 sampek teng terminal. Ngge pelarisan, regi bensin 13, opah ngojek 7 ewu,” ana tukang ojek nawani aku. Penyakit, aku wis krasa gebled ngyuh, becik enggal tekan terminal Osowilangun, nguyuh kana. “Nggih, pun, ngga!” Aku numpak ojek, werrr!
Kemudian, kesanggupan untuk ngempet air kencing dilakukan tokoh Aku hingga naik angkutan berikutnya. Meskipun sudah kencing di toilet saat bus singgah di terminal Bunder, akan tetapi Aku tidak tuntas dalam mengeluarkan air seninya. Walhasil, Aku harus kembali ngempet.
Ketertundukan Aku pada ngempet juga tercermin sepanjang cerita. Aku selalu berada dalam posisi duduk dan berlari. Duduk saat berada di atas angkutan, dan lari ketika harus berganti dan naik angkutan kembali. Semua hal itu konsisten dia lakoni karena punya kesanggupan, “Nggih, pun, ngga!”
Secara keseluruhan, cerita Ngempet mempunyai makna yang mendalam. Bagi masyarakat Jawa yang tidak bisa selalu terbuka dalam banyak hal, Ngempet merupakan kritik sosial. Seseorang yang bahkan untuk kebutuhan mendasar pun, yakni kencing, sampai tidak terpenuhi dan memperjuangkan “hak” itu sendiri. Budaya Jawa yang mengajarkan masyarakatnya untuk selalu mengungkapkan segala sesuatu secara samar dan tidak blak-blakan, pada tataran tertentu adalah hal yang tidak menyenangkan.
Meskipun kemudian Ngempet juga bukti bahwa, masyarakat Jawa selalu ingin menahan banyak hal yang diinginkannya. Hal ini saya anggap sebagai nilai moral yang masih relevan hingga saat ini, karena di tengah arus modernisasi yang mengarah pada konsumerisme, masyarakat modern seakan ingin mendapatkan segala karena keinginan, bukan kebutuhan. Semua barang ingin didapat, tanpa memperhatikan kegunaan dan berapa banyak uang yang dikeluarkan. Dalam tataran inilah, ngempet mampu pula menjadi auto kritik bahwa segala keinginan hendaknya diempet, untuk kemudian dipikirkan dan direnungkan kembali. Terlebih lagi, hal ini akan sangat berarti ketika harus memutuskan hal-hal besar yang bakal memiliki pengaruh terhadap kehidupan pribadi, keluarga, maupun masyarakat.
***
Dalam khazanah sastra Jawa, cerita bertema pesugihan pun masih senantiasa diciptakan hingga kini. Hal itu karena majalah Panjebar Semangat—sebagai salah satu majalah mingguan berbahasa Jawa terbesar—masih menyediakan kolom Alaming Lelembut dalam setiap kali penerbitannya yang, menurut saya, menjadi pemicu genre sastra bertema mistis dan gaib.
Dalam tataran realitas, banyak tempat di Jawa masih diyakini dihuni oleh makhluk gaib yang dapat dimintai bantuan untuk mendatangkan rezeki dalam tempo singkat. Tempat-tempat itu, yang biasanya diceritakan berlatar hutan atau pegunungan, tak lepas dari kepercayaan masyarakat Jawa yang percaya terhadap kekuatan lain di luar manusia dan Tuhan. Ada korelasi antara cerita rakyat dengan kehidupan alam dan kepercayaan terhadap makhluk gaib yang memiliki kekuatan untuk membantu berbagai urusan manusia.
3
Gambar 3: Ilustrasi gambar pada cerkak “Dhanyang Pesugihan” (Panjebar Semangat, 2011).
Cerita pesugihan selalu dimulai dengan kegagalan seseorang, entah dalam membina rumah tangga, gagal karena tidak dapat mendapatkan pasangan yang dikehendaki, hingga gagal secara ekonomi. Tokoh yang mengalami hal ini sering digambarkan mempunyai tubuh dan wajah yang, kalau tidak buruk, pastilah sangat rupawan. Tidak ada yang yang digambarkan secara “biasa-biasa” saja. Hal itu kemudian membuat tokoh frustasi dan putus-asa dalam menjalani hidup di tengah masyarakatnya. Dia merasa rendah diri karena tidak bisa dadi wong, sebutan untuk orang Jawa yang dapat hidup normal, yakni punya istri, berkeluarga dan berkecupan.
Pesugihan tentu saja bertentangan dengan budaya Jawa. Mengambil pesugihan tidak sejalan dengan tatanan yang terdapat dalam budaya Jawa. Pesugihan merupakan cara cepat untuk meraih kemuliaan tanpa berusaha secara wajar, dan itu tidak dibenarkan. Di sisi lain, pesugihan yang meminta syarat berupa tumbal nyawa yang harus selalu diberikan secara rutin juga merugikan orang lain. Setidaknya hal itu bertentangan dengan tatanan Jawa: pasrahalon-alon waton kelakon, dan aja gawe sengsaraning liyan.
Kepercayaan akan dunia mistis yang banyak didapati dalam cerita rakyat Jawa tersebut disebabkan latar belakang masyarakat Jawa yang tidak terlepas dari animisme dan dinamisme. Termasuk pula, dalam ranah kebudayaan, masyarakat Jawa selalu ingin hidup untuk selaras dengan alam. Dalam berbagai kesempatan, mereka sering menggelar ritual untuk menghormati alam dan kekuatan lain.
Dalam cerita pesugihan, nama tempat yang dapat dikunjungi untuk meminta pesugihan sering disamarkan atau tidak disebutkan. Hanya disebutkan di gunung atau alas yang angker dan memang sudah terkenal dapat dimintai pesugihan. Tempat itu didatangi oleh “mereka yang telah putus asa”. Selain itu, pesugihan dapat pula diminta kepada “orang pintar”. Karena faktor sosial dan tekanan atas banyak hal, seseorang bisa memutuskan untuk mencari kemuliaan dengan cara seperti itu.
Pesugihan, seperti yang kita tahu, selalu meminta tumbal atau korban nyawa yang harus selalu diberikan secara berkala. Bila tidak, dhanyang pesugihan sendiri yang akan “memakan” si majikan. Memang, tak lama setelah datang kepada “orang pintar” untuk meminta pesugihan, seseorang akan mendadak mendapat kemuliaan. Namun dia harus konsisten atas apa yang telah menjadi perjanjian: mengorbankan nyawa keluarga atau saudaranya.
Hingga kini, masih banyak dijumpai pesugihan–baik yang hadir sekadar sebagai cerita atau diyakini sebagai kenyataan–yang menjadi perbincangan masyarakat Jawa. Di tengah mereka, hal-hal yang berkaitan dengan kehilangan uang secara tiba-tiba, langsung dikaitkan dengan adanya tuyul yang mengambil. Termasuk bila melihat tetangga yang mendadak sugih, tanpa menampakkan jerih payah terlebih dahulu. Hal seperti itu, dinilai sebagai hal yang tidak wajar dan lekat dengan ciri orang yang mengambil pesugihan. Hal itu karena, sekali lagi, masyarakat Jawa punya prinsip alon-alon waton kelakon dan tidak terbiasa dengan perubahan yang serba mengejutkan (Mulder, 1984). Karena hal itu, semua hasil yang telah diperoleh harus “ditampakkan” juga usaha-usaha untuk meraihnya. Bila ada yang seolah tak sesuai dengan prinsip ini, boleh jadi seseorang dalam kehidupannya di masyarakat akan dicurigai memiliki pesugihan.
***
Menurut saya, adalah hal yang menggembirakan jika semakin banyak karya sastra yang ditulis dengan kesadaran pascakolonial. Karena dengan cara seperti itu, sastra akan berfungsi sebagai representasi atas  kahanan: sastra akan banyak berbicara tentang relasi kekuasaan global serta kondisi khas masyarakat pascakolonial yang menjadikan kritik dan perlawanan sebagai ciri utama. Dan, sejauh mana kita mendapati hal itu dalam jagat sastra Jawa modern?
[*] Prasaran untuk diskusi putaran keempat Forum Studi Morfem Bebas, Rabu, 26 Maret 2014, di kediaman Sendang Mulyana, Perum Trangkil, Gunungpati, Semarang.
Rujukan
Bandel, Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Yogyakarta: Pustaka Hariara.
Brata, Suparto. Ngempet. Panjebar Semangat, 14 September 2013.
Cawelty, John. J. 1976. Adventure, Mystery, and Romance: Formula Stories as Art and Popular        Culture. Chicago: The University of Chicago Press.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko. 2000. Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Mulder, Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
Panjebar Semangat. 1961. Padmosusastro. Surabaya: Panjebar Semangat.
Utomo, Imam Budi., dkk. 2002. Eskapisme Sastra Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Ras, J.J. (ed.). 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT Grafitipers.
Santosa, Puji. 2013. Memotret Masyarakat Jawa pada Awal Abad Ke-20, pengantar untuk buku Masyarakat Jawa & Budaya Barat: Kajian Sastra Jawa Masa Kolonial (Suratno, 2013). Yogyakarta: Penerbit Adi Wacana.
Quinn, George. 1995. Novel Berbahasa Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wardoyo, Subur. 2005. Semiotika dan Struktur Narasi. Kajian Sastra, vol. 29, No. 1, Januari 2005.
Zustiyantoro, Dhoni. Aja Kaget, Aja Panik, Apalagi Nekat! Esai di harian Suara Merdeka, 18 Maret 2012.

1 komentar:

  1. cek kumpulan cerkak bahasa jawa
    www.kumpulan-cerkak.blogspot.co.id

    BalasHapus