Translate

Selasa, 01 Juli 2014

Teori Sastra Jawa

TEORI SASTRA JAWA. 
Sastra dan Bahasa Jawa
Genre Sastra Jawa 
Sang Kawi, Pujangga dan Pengarang
 
Khasanah Sastra Jawa Kuna
A.  Munculnya Sastra Jawa Kuna
B.  Hasil Karya Sastra Jawa Kuna
C.  Penentuan Umur  Karya Sastra Jawa Kuna
D.  Metrum Kakawin dan Kidung
E.  Sarana Penulisan Sastra Jawa Kuna
Khasanah Sastra Jawa Modern
A.  Sastra Prosa Jawa Modern
B.  Sastra Puisi Jawa Modern
C.  Sastra Drama Jawa Modern  
SASTRA: HAKIKAT, FUNGSI, GENRE, DAN UNSUR-UNSURNYA
A. Pengertian dan Hakikat Sastra
Sastra,  mungkin  telah  ada  sejak  manusia  ada.  Bersamaan  dengan  perkembangan manusia  dan  kebudayaannya,  sastra  juga  berkembang  menurut  situasi  dan  kreasi manusianya.  Dengan  demikian,  sejalan  dengan  pengelompokan-pengelompokan  manusia serta  kebudayaannya,  sastra  juga  berkembang  dalam  kelompok-kelompok  itu. Barangkali hal  seperti  inilah  yang  hingga  saat  ini menjadikan  sastra memiliki  keumuman  sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, setiap karya sastra demikian halnya. Wellek & Warren (1993), secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas,  juga memiliki sifat-sifat  yang  sama  dengan  karya  seni yang  lain,  sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya. 
Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg,  dkk.,  (1989),  bahwa  menurut  mereka  tidak  mungkin  memberikan  sebuah definisi  yang  universal  mengenai  sastra.  Sastra  bukanlah  sebuah  benda  yang  dijumpai, sastra  adalah  sebuah  nama  yang  dengan  alasan  tertentu  diberikan  kepada  sejumlah  hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. 
Barangkali  inilah  titik  pangkal  dari  permasalahan  kajian  sastra  yang  pertama  kali muncul, yakni perihal  tidak pernah  terjawabnya  (dengan memuaskan) pertanyaan apakah sastra itu? karena terlalu kompleksnya sesuatu yang disebut sastra itu. Arti  sastra  yang  sangat  kompleks  itu  telah  mengaburkan  batasan  sastra  sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw (1984) menuliskan bahwa meskipun sudah cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan, apakah  sastra  itu ? namun batasan manapun  juga yang diberikan oleh para ilmuwan  tidak kesampaian. Hal  itu dikarenakan batasan sastra  itu hanya menekankan satu atau  beberapa  aspek  saja,  atau  hanya  berlaku  untuk  sastra  tertentu  saja,  atau  sebaliknya, terlalu  luas  dan  longgar sehingga  melingkupi  banyak  hal  yang  jelas  bukan  sastra  lagi.
Menurut Luxemburg dkk (1989) kegagalan definisi itu antara lain sebagai berikut. 
1.  Karena  orang  ingin  mendefinisikan  terlalu  banyak  sekaligus,  sering menggunakan dua kriteria sekaligus, sering menggunakan definisi deskriptif dan definisi  evaluatif  sekaligus,  dengan  menuilai  baik  dan  tidaknya  suatu  karya sastra. 
2.  Karena menggunakan  definisi  ìontologisî mengenai  sastra,  yakni mengungkap hakikat  sebuah  karya  sastra.  Padahal  mengingat  kompleksnya  obyek  sastra, mestinya  sastra  didefinisikan  di  dalam  situasi  pemakai  atau  pembaca  sastra. Norma  dan  deskripsi sering  dicampuradukkan,  padahal  suatu  karya  bagi  satu orang bisa termasuk sastra, bagi orang lain mungkin tidak. 
3.  Anggapan mengenai  sastra  sering ditentukan oleh  sastra Barat, khususnya  sejak jaman  renaisance,  tanpa memperhitungkan  bentuk-bentuk  sastra  di  luar  Eropa. Sastra India, Melayu, Jawa dan sebagainya  tentu memiliki kekhasannya masing-masing, apalagi kalau dipisahkan dari jaman-jaman tertentu. 
4.  Definisi oleh ahli yang sering memuaskan untuk diterapkan pada sejumlah  jenis sastra, tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara umum. Pada  berbagai  hal  secara  umum,  untuk mendefinisikan  sesuatu  itu  dapat  didekati dari namanya. Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris sering disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari bahasa Sanskerta: akar kata  ësas-, dalam kata kerja  turunan berarti ìmengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksiî. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan alat, sarana. Jadi  sastra  dapat  berarti  ìalat  untuk mengajar,  buku  petunjuk,  buku  instruksi  atau pengajaran. 
Kata lain yang sering dipergunakan ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra mendapat awalan  su- yang berarti baik,  indah.  Jadi kata  suastra dapat berarti sastra yang  baik  atau  sastra  yang  indah  yang  dalam  bahasa  Perancis  atau  Inggris dipergunakan istilah belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipergunakan dalam bahasa Jawa Kuna, sehingga istilah susastra adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang muncul kemudian (Teeuw, 1984). 
Batasan  secara  etimologis  tersebut,  juga belum maksimal. Tidak  semua alat untuk mengajar bisa dikategorikan  sebagai  sastra, walaupun dalam arti  sebaliknya,  semua  sastra dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengajar. Luxemburg, dkk. (1989) menyebutkan sejumlah faktor yang dewasa ini mendorong para  pembaca  untuk  menyebut  teks  ini  sastra  dan  teks  itu  bukan  sastra,  yakni  sebagai berikut.
(1) Yang dikaitkan dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu untuk tujuan komunikatif praktis yang bersifat sementara waktu saja. 
(2) Bagi  sastra  Barat  dewasa  ini  kebanyakan  teks  drama  dan  cerita  mengandung fiksionalitas.  Bagi  orang  Yunani  dahulu,  fiksionalitas  tidak  relevan  untuk membatasi  pengertian  sastra,  dan  di  Cina  dahulu  teks-teks  rekaan  justru  tidak dianggap sastra.
(3) Dalam  hal  puisi  lirik,  dipergunakan  konvensi  distansi  untuk mengambil  jarak sehingga tidak setiap puisi lirik dinamakan rekaan.
(4) Bahan  sastra  diolah  secara  istimewa  dan  dengan  cara  yang  berbeda-beda sehingga  misalnya,  pengertian  bahasa  puitik  tidak  pernah  bisa  dibatasi  secara mutlak.
(5) Sebuah  karya  sastra  dapat  dibaca menurut  tahap-tahap  arti  yang  berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan  itu  tergantung  pada  mutu  sastra  yang  bersangkutan  dan  kemampuan pembaca dalam menggauli teks-teks sastra. 
(6) Karya-karya  bukan  fiksi  dan  juga  bukan  puisi,  karena  ada  kemiripan  tertentu digolongkan dalam sastra, yakni karya-karya naratif, seperti biografi-biografi dan karya-karya  yang  menonjol  karena  bentuk  dan  gayanya.  Surat-menyurat  antar sastrawan lebih mudah dikategorikan sebagai sastra daripada antar sejarawan.
(7) Terdapat karya-karya yang  semula  tidak masuk  sastra, kemudian dikategorikan sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan sekedar penulisan sejarah tetapi sastra. 
Wellek & Warren (1993) mencatat bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa cara, yakni sebagai berikut.
(1) Salah  satu  batasan  sastra  adalah  segala  sesuatu  yang  tertulis  atau  tercetak. Pengertian  ini  seperti  pengertian  etimologis pada kata  literature  (Inggris).  Jadi ilmuwan  sastra  dapat  mempelajari  profesi  kedokteran,  ekonomi,  dsb.  Dengan demikian  seperti yang dikemukakan Edwin Greenlaw  (teoritikus sastra  Inggris) bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah  sastra. Demikian pula menurut banyak praktisi  ilmu  lain,  sastra bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan  tetapi memang  identik. Dalam hal  ini  Wellek  &  Warren  mengomentari  bahwa  akhirnya  studi  semacam  ini bukan  studi  sastra  lagi.  Studi  yang  berkaitan  dengan  sejarah  kebudayaan cenderung menggeser  studi  sastra  yang murni,  karena  dalam  studi  kebudayaan semua perbedaan dalam  teks  sastra diabaikan. Bagi  sastra  Jawa,  seperti halnya pada banyak budaya  lain, batasan seperti  ini  tidak menguntungkan karena Jawa memiliki tradisi sastra lisan yang sangat kuat.
(2) Cara  lain  untuk  membatasi  definisi  pada  sastra  adalah  membatasi  pada mahakarya  (great  books),  yaitu  buku-buku  yang  dianggap  ìmenonjol  karena bentuk dan ekspresi  sastranya. Dalam hal  ini kriteria penilaiannya adalah  segi estetis atau nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama  dan  cerita  rekaan, mahakarya  dipilih  berdasarkan  pertimbangan  estetis. Sedang  buku-buku  lain  dipilih  karena  reputasinya  atau  kecemerlangan ilmiahnya,  ditambah  penileian  estetis  dalam  gaya  bahasa,  komposisi,  dan kekuatan  penyampaiannya.  Dalam  hal  ini  sastra  atau  bukan  sastra  ditentukan oleh penilaian. Di  samping  itu  sejarah,  filsafat dan  ilmu pengetahuan  termasuk dalam  sastra.  Dalam  sastra  Jawa  kuna  dan  sebagian  sastra  Jawa  modern, memang banyak karya sastra yang berisi  ilmu pengetahuan atau sejarah, namun sering  dikategorikan  sebagai  karya  sastra  karena  gaya  bahasanya,  antara  lain  Negarakertagama  (Jawa  kuna)  dan  karya  sastra  Babad  (Jawa  modern)  yang sebagian besar berisi sejarah.
(3) Menurut Wellek & Warren, pengertian sastra yang paling tepat diterapkan pada seni  sastra,  yakni  sastra  sebagai  karya  imajinatif.  Istilah  lainnya  adalah  fiksi (fiction)  dan  puisi  (poetry),  namun  pengertannya  lebih  sempit.  Sedang penggunaan  istilah  sastra  imajinatif  (imaginative  literature)  dan  belles  latters (tulisan yang  indah dan  sopan) kurang  lebih menyerupai pengertian etimologis kata  susastra,  dinilai  kurang  cocok  dan  bisa memberi  pengertian  yang  keliru. Istilah Inggris, literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas pengertiannya  dan  lebih  cocok  adalah  istilah  dari  Jerman  wortkuns  dan  dari Rusia slovesnost.  
(4) Cara  lain  yang  dilakukan  untuk  memecahkan  definisi  sastra  adalah  melalui kategorisasi bahasa. Bahasa adalah media yang dipergunakan oleh sastra. Namun demikian  sastra  tidak  memiliki  media  secara  khusus,  karena  bahasa  juga dipergunakan sebagai media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena itu membatasi sastra dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu.
 Wellek & Warren (1993) juga menyatakan bahwa untuk melihat penggunaan bahasa yang  khas  sastra,  harus  dibedakan  antara  bahasa  sastra,  bahasa  ilmiah dan bahasa  sehari-hari. Hal  ini pernah dilakukan oleh Thomas Clark Pollock dalam bukunya The Nature of Literature.  Namun  demikian  buku  itu  tidak  memuaskan  terutama  dalam  membedakan bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari. Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah dibedakan. Bahasa ilmiah  bersifat  denotatif  ,  yakni  ada  kecocokan  antara  tanda  (sign)  dengan  yang  diacu (referent).  Jadi bahasa  ilmiah cenderung menyerupai  sistem  tanda matematika atau  logika simbolis.
Bahasa sastra, dibanding bahasa  ilmiah, penuh ambiguitas dan homonim (kata-kata yang  sama  bunyinya  tetapi  berbeda  artinya),  serta  memiliki  kategori-kategori  yang  tak beraturan  dan  tak  rasional.  Bahasa  sastra  juga  penuh  dengan  asosiasi,  mengacu  pada ungkapan  atau  karya  yang  diciptakan  sebelumnya. Dengan  kata  lain  bahasa  sastra  sangat konotatif  sifatnya. Bahasa  sastra memiliki  fungsi ekspresif, menunjukkan nada  (tone) dan sikap  pembicara  atau  penulisnya.  Bahasa  sastra  berusaha mempengaruhi, membujuk  dan pada  akhirnya mengubah  sikap  pembaca. Disamping  itu yang dipentingkan dalam bahasa sastra  adalah  tanda,  simbolisme  suara  dari  kata-kata.  Berbagai  teknik  diciptakan  untuk menarik perhatian pembaca.
Membedakan  antara  bahasa  sastra  dengan  bahasa  sehari-hari  lebih  sulit.  Bahasa sehari-hari sering  juga bersifat ekspresif. Yang  jelas, perbedaan pragmatisnya  ialah bahwa segala  sesuatu  yang mendorong  orang untuk melakukan  tindakan  langsung yang kongkrit sukar untuk diterima sebagai puisi (baca: sastra) (Wellek & Warren, 1993). Dalam  hubungannya  dengan  bahasa,  khususnya  bahasa  tulis,  Teeuw  (1984) memberikan beberapa catatan sebagai berikut. 
(1) Dalam  sastra  tulis  terdapat  keindahan  bahasa,  yakni  pemakaian  bahasa  yang tepat  dan  sempurna.  Disamping  itu  dalam  sastra  tulis  sering memberi  banyak kemungkinan  untuk  menciptakan  keambiguan,  makna  ganda,  yang  sering dianggap sebagai ciri khas bahasa sastra.
(2) Dalam  sastra  tulis,  ambiguitas  diri  penulis  yang  tidak  langsung  dihadapi  oleh pembaca,  sering  dimanfaatkan  bahkan  dieksploitasi  secara  sangat  halus. Tokoh aku dalam karya sastra belum tentu identik dengan penulisnya.
(3) Karena  hubungan  antara  karya  sastra  dengan  penulisnya  terputus,  dengan sendirinya  tulisan  itu  menjadi  sangat  penting  dan  mandiri.  Jadi  karya  sastra bukanlah  tindak  komunikasi  biasa  dan  memunculkan  bermacam-macam konvensi yang harus dikuasai pembaca dalam memahami sastra
(4) Sastra  adalah  dunia  dalam  kata  dan  dalam  pemahamannya  tidak  dibantu  lagi oleh penulisnya sehingga tergantung pada kata.
(5) Tulisan  dapat  diulang  baca,  sedang  konvensi  sastranya  dapat  berubah-ubah sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi disesuaikan dengan informasi baru.
(6) Reproduksi  sastra  sangat  mungkin  terjadi  sehingga  dimungkinkan  terjadinya perubahan atau pemantapan sehingga  terjadi variasi makna. Bagi peneliti hal  itu justru  memperluas  lahan  kajian.  Bagi  pembaca  memungkinkan  terpenuhi seleranya.
(7) Reproduksi  sastra  dalam  berbagai  jaman,  berbagai  bahasa  dan  budaya menjadikan sastra menjadi gejala sejarah dengan segala akibatnya. Saat ini orang bisa membaca karya Homeros 30 abad yang lalu, atau karya Prapanca pada abad XIV.  Kesinambungan  kebudayaan  sebagian  besar  tergantung  dari  penemuan tulisan  dan  abjad. Namun  demikian  penafsiran  sastra  kadang menjadi  berbeda dari masa ke masa. Perbedaan penafsiran  itu menjadi permasalahan  apakah hal ini  justru  sebagai  kekayaan  sastra  atau  sebaliknya,  harus  berusaha menginterpretasi sesuai dengan maksud awal (asli)-nya. Teeuw  (1984)  menegaskan  bahwa  sastra  bukan  hanya  dalam  rangka  sastra  tulis, karena  ada  sastra  yang  hidup  dan  berkembang  dalam  bentuk  sastra  lisan.  Tujuh  catatan dalam hubungannya dengan sastra tulis di atas tidak serta merta dapat diterapkan pada sastra lisan, namun setidak-tidaknya  terdapat kemiripan  terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra  sering  sekali  ada  bentuk  campuran  antara  sastra  tulis dengan  sastra  lisan, misalnya banyak tersebar di Indonesia.  Pada  akhirnya  Teeuw  (1984)  berkesimpulan  bahwa  tidak  ada  kriteria  yang  jelas yang  dapat  diambil  dari  perbedaan  pemakaian  bahasa  lisan  dan  bahasa  tulis  untuk membatasi  sastra  sebagai  gejala  yang  khas.  Ada  pemakaian  bahasa  lisan  dan  tulis  yang sastra,  ada pula yang bukan  sastra;  sebaliknya ada  sastra  tulis dan ada  sastra  lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dan bukan sastra harus dicari di bidang lain. Dengan  demikian  semakin  komplekslah  permasalahan  yang  dihadapi  untuk memberikan  batasan  antara  sastra  dan  bukan  sastra.  Namun  demikian  ada  sejumlah pengertian  yang  berlaku  pada  zaman  Romantik  yang  menurut  Luxemburg  dkk  (1989) hingga saat ini masih selalu dipakai, sebagai berikut.
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon. Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar