PANDANGAN HIDUP
Istilah “ Pandangan Hidup Jawa “ di sini mempergunakan pengertian yang
longgar, jadi istilah ini dapat saja diganti dengan istilah-istilah lain
yang mempunyai arti yang kurang lebih sama, seperti “ Filsafat Jawa “ (
Abdulah Ciptoprawiro ) “ Filsafah Kejawen “ atau istilah lain lagi.
Tetapi pandangan hidup Jawa, ini tidaklah identik dengan “ Aliran
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “ atau “ Islam Abangan “ atau “
Mistik Jawa “ dan lebih-lebih dengan “ ilmu-ilmu klenik “. Sementara
itu beberapa istilah lain seperti “ Agama Jawa “atau “ Agama Jawi “ (
Koentjaraningrat ) “ the religion of jawa “ ( Clifford Geertz ) dan
lain-lain, itu tidak identik dengan “ Pandangan Hidup Jawa “ sekalipun
terlihat adanya beberapa segi persamaan.
Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup
dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam
semesta ciptaanNYA beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Ini
meliputi pula pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia,
termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama
yang ada.
Dengan meminjam istilah Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila,
pandangan hidup di sini adalah sama dengan Weltanschauung, yang dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1989 : 1010 ) diberi arti sebagai “Sikap
terhadap kebudayaan, dunia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya,
serta semangat dan pandangan hidup terdapat pada zaman tertentu”. Jadi
selain jelas bahwa pandangan hidup Jawa itu bukan suatu agama, jelas
pula bahwa ia pun tidak identik dengan “regiositas Jawa”, karena cakupan
pengertiannya lebih luas dari pada itu.
Berbeda dengan pendapat sementara pakar yang menyimpulkan bahwa ciri
karakteristik regiositas Jawa dan pandangan hidup Jawa bukanlah
sinkretisme tetapi suatu semangat yang saya beri nama tantularisme. Saya
namakan demikian karena semangat ini bertumpu pada atau memancar dari
ajaran Empu Tantular lewat kalimat kakawin Sutasoma :
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, bermacam-macam sebutannya,
tetapi Tuhan itu satu-tidak ada kebenaran yang mendua. Kalimat Empu
Tantular ini jelas tidak hanya menekankan prinsip dan keyakinan tentang
Keesaan Tuhan tetapi juga keesaan kebenaran! Disitulah letak semangat
tantularisme yang merupakan inti pandangan hidup Jawa. Semangat semacam
ini menjiwai dan menyemangati tidak hanya religiositas Jawa saja tetapi
juga semua unsur dan aspek kebudayaan Jawa. Sifat karakteristik budaya
Jawa yang religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik
itu terbentuk secara kokoh diatas fondasi tantularisme ini.
Budaya Jawa dan pandangan hidup Jawa memang telah dan akan selalu
mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan perkembangan jaman.
Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan itu selama
tidak sampai mencabut pandangan hidup Jawa dari akar dan sumber
kekuatannya, yaitu tantularisme, yang adalah juga merupakan kristalisai
dari proses sejarah yang amat panjang. Disinilah letak kekuatan budaya
Jawa yang harus tetap dipertahankan dengan sadar. Semangat tantularisme
yang merupakan sumber kekuatan Jawa itu sebenarnya bukan hanya cocok
untuk orang Jawa. Ia bersifat universal. Oleh karena itu tantularisme
juga merupakan sumbangan yang sebenarnya amat diperlukan oleh umat
manusia sekarang ini
Permusuhan dan perang antar etnik; persaingan, kebencian dan kecemburuan
antar pemeluk agama yang telah mengorbankan beribu-ribu nyawa manusia
yang senantiasa terjadi sampai sekarang ini, semuanya akan dapat diredam
oleh semangat tantularisme yang damai, sejuk dan bernafaskan asih ing
sasami. Tantularisme memancarkan cinta kasih kepada sesama, yang juga
diajarkan oleh semua agama yang dipeluk oleh orang-orang yang membenci
itu! Islam, Kristen, Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, semuanya
mengajarkan cinta kasih kepada sesama; sementara itu banyak pemeluknya
saling membenci dan bermusuhan! Atas nama agama ?????????
SINKRETISME JAWA
Seperti telah dinggung di muka, kebanyakan pakar dan pengamat budaya
Jawa berpendapat bahwa ciri karakteristik pandangan Jawa adalah
sinkretisme. Namun cukup banyak pula pengamat yang tajam penglihatannya,
meragukan kesimpulan semacam itu.
Pengamatan yang tajam akan dapat melihat bahwa kecenderungan yang paling
menonjol dalam budaya Jawa bukanlah kecenderungan sinkretik yang berupa
kecenderungan atau semangat untuk membangun suatu sistem kepercayaan (
termasuk agama ) baru dengan menggabungkan unsur-unsur yang berasal dari
sistem-sistem kepercayaan yang telah ada.
Para pengamat yang menyangkal sinkretisme sebagai ciri karektistik
pandangan Jawa itu, mencoba mencari istilah-istilah lain yang dianggap
lebih tepat, seperti istilah mosaik ( Abdulah Ciptoprawiro ), coalition (
Gonda ) atau sekedar “ Percampuran “ atau Vermenging ( Kern )
istilah-istilah lain lagi yang juga dipakai oleh sementara pakar sebagai
pengganti istilah “ sinkretisme “ adalah amalgamtion, blending, fusi
atau fusion ( peleburan ) dan lain-lain.
Memang dalam pengamatan sinkretisme bukanlah ciri karaktistik pandangan
Jawa, gejala sinkretisme dapat kita temui dimana-mana. Juga dalam
berbagai agama yang kita kenal sekarang ini, bahkan dalam A Distionary
Of Comparative Religion dinyatakan bahwa hanya sedikit saja agama yang
benar-benar bebas dari sinkretisme. Di kalangan masyarakata Jawa,
kecenderungan sinkretisme memang ada kecenderungan itu cukup besar,
tetapi adalah tidak benar kalau disimpulkan bahwa sinkretisme adalah
merupakan ciri karaktistik pandangan hidup Jawa, yang betul-betul
merupakan ciri karaktistik menurut penghayatan saya adalah semangat
tantularisme itu.
Istilah “ tantulisme “ ini masih baru dan tentunya masih asing bagi para
pakar budaya Jawa. Sekalipun istilahnya baru, tetapi sebenarnya
tuntalisme adalah semangat yang sudah sejak jaman dahulu tumbuh subur
dikalangan masyarakat Jawa. Berbagai istilah alternatif terhadap
sinkretisme tersebut bisa dipersepsikan semangat yang terdapat di dalam
dan merupakan ciri karetistik pandangan Jawa.Istilah-istilah tersebut
terkesan hanya menunjuk pada bentuk dan proses yang terjadi, bukan pada
semangat. Istililah-istilah tersebut juga tidak mampu menunjuk secara
tegas perbedaan yang mendasar dengan sinkretisme.
Prof. J.H.C Kern telah menuangkan pendapatnya melalui karangannya “ Over
de Vermenging Van Civaisme en Buddhisme op Java, Naar aanleiding van
het Oudjavaasch gedicht Sutasoma “ hanya terpukau pada proses
percampuran atau vermenging antar dua agama yang menjadi obyek
penelitiannya, yaitu Civaisme ( Hindu ) dan Buddhisme.
Sumber:
http://www.karatonsurakarta.com/orangjawa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar