Sastra Jawa Modern
Pascakemerdekaan
Kemerdekaan
Indonesia menjadi penanda penting dalam sejarah kesusastraan Jawa. Pada masa
penjajahan, pemerintahan kolonial telah mengontrol segala hal terkait bahan
bacaan, termasuk sastra, yang juga digunakan sebagai bahan ajar di sekolah
formal kolonial. Ras (1985) menyebut, keinginan untuk “memerdekakan” karya
sastra muncul setelah Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka.
Telah lama
sastra Jawa hidup dalam ragam tradisional. Secara turun-temurun, para pujangga
di keraton menggunakan tembang macapat sebagai wadah penciptaan. Beberapa karya
yang termasyhur adalah Wulangreh(karya Pakubuwana IV,
1768-1820), Kalatidha (karya Ranggawarsita, 1802-1873),
dan Wedhatama (karya Mangkunegara IV,1811-1881).
Kita tahu,
tembang macapat mengharuskan penciptanya untuk taat pada guru gatra,
guru lagu, dan guru wilangan yang, bila hal itu tidak
ditaati, akan berpengaruh pada distribusi makna. Macapat juga mengandung bahasa
arkais dan butuh penerjemah untuk dapat memahami makna yang terkandung. Karena
diabdikan untuk kekuasaan dan digunakan sebagai alat pencitraan penguasa,
sastra Jawa klasik menjadi minim kritik terhadap pemerintahan yang berkuasa.
Meski kemudian ditemukan sejumlah serat yang berisi kritik itu, namun kritik
terhadap datangnya Islam yang dianggap menggoyahkan kebudayaan Jawa, sebut saja
serat Gatholoco, danDarmagandhul (Ki “Kalamwadi”).
Sejauh mana
sastra dapat merepresentasikan keadaan zaman dan sampai di mana sastra dapat
dijadikan rujukan sejarah? Dua pertanyaan ini hampir pasti mengemuka ketika
mendudukkan sastra sebagai bagian yang terpisahkan dari apa yang saya sebut
sebagai kahanan.
Kita
sepakat, pengarang adalah penguasa dalam dunianya sendiri, dunia sastra yang
bakal dia ciptakan. Namun, sebebas apa pun dia, tetaplah membutuhkan medium
bahasa yang, secara konvensional, digunakan sebagai medium penciptaan sastra.
Dalam kondisi macam inilah, pengarang harus bergulat dengan kahanan: membaca,
menyuguhkan, hingga menafsir keadaan. Keadaan, yang kemudian bakal menjadi
sejarah, hanya menjadi “modal” awal pengarang untuk berkarya.
Sastra Jawa
modern—Ras (1985) menyebutnya sebagai “sastra Jawa gagrag anyar” dan “sastra
Jawa model baru” —diciptakan sebagai upaya perlawanan terhadap sastra Jawa
tradisionalis yang dinilai mengekang itu. Damono (1993) mendeskripsikan, sastra
Jawa disebut “modern” karena dalam penyampaiannya telah menggunakan huruf latin
dan didistribusikan (diperbanyak dan dibaca) ke luar keraton.
Sastra Jawa
modern ditengarai mulai muncul ketika Padmosusastro membuat Serat
Rangsang Tuban (1912) yang berwujud novel—tidak menggunakan medium
tembang. Dia menyebut diri sebagai tiyang mardika ingkang marsudi
dhateng kasusastran Jawi (Panjebar Semangat, 1961). Setelah
itu, pintu penciptaan sastra Jawa modern seakan terbuka lebar. Santosa (dalam
Suratno, 2013) menyebut, dalam awal abad itu, buku berbahasa Jawa yang
diterbitkan Balai Pustaka cukup banyak karena mayoritas pribumi yang
berpendidikan formal Barat adalah masyarakat Jawa.
Santosa
menyebut novel yang diterbitkan Balai Pustaka ketika itu antara lain Katresnan,
Saking Papa dumugi Mulya, Gawaning Wewatekan, Gambar Mbabar Wewados, Pepisahan
Pitu Likur Taun, Pameleh, dan Garang Garing.
Meski kemudian, novel tersebut sarat akan muatan kebijakan pemerintah Belanda
dan kelangsungan penjajahan di Indonesia. Di samping itu, novel-novel tersebut
bisa dibilang sekadar peniruan dari budaya Belanda.
Bukan
berarti penciptaan tembang macapat lenyap setelah kemerdekaan. Tembang macapat,
lelagon dolanan anak, hingga gending-gending Jawa—yang memuat syair-syair
berbahasa Jawa—masih diciptakan oleh para pengarang yang hidup setelah
kemerdekaan. Hal itu karena masyarakat Jawa memiliki tradisi lisan yang kuat.
Sastra Jawa tidak hanya tertulis, tapi juga ditembangkan pada banyak kesempatan
berkumpul (Ras, 1985). Itulah mengapa, masih banyak para pengarang sastra Jawa yang
berkarya dengan medium sastra lisan ini.
Syahdan,
berawal dari kesadaran pascakolonial, apa yang disuguhkan pengarang pun menjadi
lebih “merdeka”. Tak terhindarkan lagi hegemoni Indonesia maupun Barat yang
asyik-masyuk ke dalam sastra Jawa. Dan, setelah kemerdekaan, sejauh mana
pengarang mampu menyuguhkan kahanan dalam karyanya dan sampai
di mana karya itu mampu “memotret” kahanan— pascakemerdekaan?
***
Munculnya
sastra Jawa modern pada mulanya menjadi bahan ejekan oleh para kaum bangsawan
yang feodalistis. Mereka menganggap sastra Jawa yang mulai berkembang adalah
“bacaan anak-anak dan tidak ada nilai sastranya”. Adapun yang dipandang sebagai
karya yang layak disebut sebagai karya sastra, hanyalah karya sastra Jawa yang
lahir dalam tembok keraton yang ditulis oleh para pujangga kerajaan (Utomo,
2002). Utomo mendeskrispsikan pada awal perkembangannya di era
pascakemerdekaan, sastra Jawa modern mengandung unsur eskampisme.
Eskapisme
merupakan sebuah keadaan atau sikap memasuki alam khayal atau hiburan untuk
melupakan atau menghindari kenyataan-kenyataan atau masalah yang tidak
menggembirakan (Utomo, 2002). Dalam karya sastra, eskapisme kerap dikaitkan
dengan sastra populer yang diciptakan dengan tujuan menghibur. Utomo menyebut
karya sastra Jawa berwujud cerita pendek (cerkak) dan novel, yang tercipta pada
masa-masa awal pascakemerdekaan, banyak yang mengandung unsur eskapisme ini.
Damono
(1993) menyebut jika sastra Jawa populer dengan tema tersebut merupakan “sastra
pelarian”, tempat pembaca berusaha menghindarkan diri dari segala sesuatu dalam
kehidupan sehari-hari yang digolongkan sebagai keburukan. Latar yang indah, dua
tokoh yang rupawan, dan cakapan yang cekatan merupakan anasir adegan yang mampu
menciptakan semacam dunia pelarian bagi pembaca. Damono pun memberikan contoh
dalam cerkak Sampjuh (Panjebar Semangat, 17 Maret
1956).
Njono banjur
mak prek, melu lubgguh ing satjedake. Karepe Warsinem arep nglungani. Ning lagi
bae menjat, tangane bandjur digeret. Bareng lungguh maneh, djanggute bandjur
dijdiwit mak tjetiiiiit. Warsinem sambat, karo mlerok. Atine Njono saja
tab-taban. Warsinem bandjur ndingkluk, dolanan krikil kang ana ing lemah.
Membeludaknya
sastra Jawa roman picisan atau panglipur wuyung dikarenakan
sebagai upaya pelarian dari gejolak sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada
awal-awal kemerdekaan. Hal itu tentu didorong oleh berkembangnya penerbitan
majalah-majalah berbahasa Jawa yang mulai menjamur. Selain Panjebar
Semangatyang terbit di Surabaya pada 1933 dan Jaya Baya yang
mulai terbit di Kediri pada 1945, setelah kemerdekaan, majalah yang terbit
adalah Djaka Lodhang (Yogyakarta, 1967), Gumregah (Surakarta,
1967), Kunthi (Jakarta, 1969), Dharma Kanda (Surakarta,
1967), Dharma Nyata (Surakarta, 1971), Parikesit (Surakarta,
1971),Kumandhang (Jakarta, 1973).
Utomo juga
menjelaskan, ciri utama dari sastra Jawa panglipur wuyung adalah
dicetak tipis dan seukuran saku sehingga membuat harganya murah. Unsur-unsur
intrinsik, misalnya kisah yang ditampilkan, adalah seputar percintaan dengan
alur dan bahasa yang sederhana. Semua unsur itu membuat isinya mudah dipahami.
Selain dapat
dijelaskan melalui ciri-ciri yang ditampilkan oleh roman panglipur
wuyung, dominannya fungsi hiburan dapat dijelaskan pula dengan pemahaman
historis tentang situasi dan kondisi negara ketika itu. Dalam perkembangannya,
sastra panglipur wuyung tidak sebatas pada novelet yang
dicetak tipis dan dengan kualitas rendah, tapi kemudian berkembang menjadi
sastra yang bertema erotis didukung dengan ilustrasi gambar yang seronok
(Utomo, 2002).
Gambar 1:
Sampul depan novelet “Neng Ati” karya Any Asmara. Foto: repro buku “Eskapisme
Sastra Jawa” (Utomo, 2002).
Novelet yang
terbit dan kemudian dikaji oleh Utomo di antaranya Bocah Alim (1959), Wong
kang Nyalawadi(1959), Gara-gara Rok Mepet Rambut Sasake (1966), Mekar
ing Mangsa Panen (1966), dan Prawan Kaosan(1973).
Pada masa
yang kurang lebih sama, pergumulan terhadap realitas ditanggapi secara lebih
serius dalam kesusastraan Indonesia. Kita tahu, tahun 1960-an merupakan
tahun-tahun paling panas dalam gejolak politik di Indonesia. Alhasil, tema-tema
pergerakan dan perlawanan secara riil menjadi hal yang lebih ditonjolkan. Balai
Pustaka setidaknya menerbitkan novelet Masa Bergolak (1968), Aku
Penerus Juangmu (1978), Pijar-pijar Api Perang (1982), Pahlawan
dan Kucing (1987), dan Anak dalam Perang (1988).
***
Ketiadaan
hal serupa dalam sastra Jawa, termasuk kritik dan upaya perlawanan terhadap
pemerintahan, tiada lain karena konvensi budaya Jawa tidak berada dalam
keterbukaan kritik. Bukan tanpa alasan, masyarakat Jawa punya prinsip alon-alon
waton kelakon dan tidak terbiasa dengan perubahan yang serba
mengejutkan (Mulder, 1984). Secara turun-temurun, budaya feodalistis yang
menghormati liyan karena lebih berumur, senioritas, dan
jabatan—bukan karena prestasi, diajarkan sebagai nilai yang diyakini
keluhurannya. Dan, alih-alih merespon keadaan dan berbagai pergolakan keadaan
ketika itu, sastra Jawa justru “menyimpang” dan melawan dengan cara “memilih
jalur lain”, yakni genre sastra Jawa panglipur wuyung.
Konvensi
budaya merupakan salah satu bagian terpenting dalam membentuk formula dalam
sebuah karya sastra (Cawelty, 1976). Yang dimaksud konvensi budaya dalam karya
sastra adalah hal-hal yang telah dipahami oleh masyarakat penikmat karya sastra
itu. Misalnya, wanita Jawa yang ideal adalah yang selalu menurut pada suami,
menjadi ibu rumah tangga, dan tidak neka-neka. Pria Jawa ideal
adalah mereka yang dadi wong: mampu menghidupi keluarga,
berkecukupan, dan menjadi pemimpin keluarga yang baik.
Dalam sastra
Jawa modern, termasuk juga sastra dalam medium bahasa lainnya, formula menjadi
penting di saat para pengarang ingin karyanya dibaca banyak orang. Hal-hal yang
sebenarnya telah diketahui oleh masyarakat Jawa, menjadi modal utama untuk
menciptakan karya yang formulanya sama, sebanyak-banyaknya. Karena pada
kenyataannya, sastra modern yang kemudian berorientasi pada kepopuleran itu
menuntut untuk tidak terlalu memberatkan pembaca dalam usaha penikmatannya.
Penikmat tidak bisa mencari pandangan segar, tidak bisa mencari arah baru yang
menuntunnya keluar dari kekangan konvensi (Damono, 2000).
Meski
kemudian bila dilihat dari perspektif lain, perubahan budaya akibat
kolonialisme bersifat sangat kompleks. Bandel (2013) menyebut dalam konteks
kolonial, budaya penjajah dan terjajah bukan sebagai kekuatan yang setara.
Sebagai akibat dari ketidaksetaraan itu, Bandel menjelaskan di dunia ilmu
pengetahuan, pendidikan, dan kesenian, model dan standar Barat kini digunakan
secara universal, sedangkan pengetahuan lokal terpinggirkan atau tereksotiskan.
Dalam perspektif Bandel, sastra Jawa modern panglipur wuyung juga
dapat dimaknai sebagai respon terhadap kahanan pergolakan kebudayaan
pascakolonial.
***
Sastra Jawa
modern yang hidup pada ranah konvensi budaya Jawa yang mengajarkan
masyarakatnya bertindak untuk tidak sepenuhnya terbuka, banyak ditemukan tanda
yang sangat mungkin menuai penafsiran yang beragam. Tidak terkecuali untuk
sastra Jawa klasik, yang harus diterjemahkan terlebih dahulu untuk memahami isi
dan maknanya yang rumit, adalah alasan mengapa sastra itu dianggap sebagai
sastra adiluhung (Damono, 2000). Apa yang diungkapkan pengarang dalam karya
sastra yang dibuat, disamarkan dalam karyanya.
Berdasar hal
tersebut, dalam budaya Jawa muncul pula konvensi bahwa semakin samar apa yang
diungkapkan, akan semakin menunjukkan kedewasaan manusia Jawa. Sedangkan yang
belum mampu melakukan hal tersebut, dianggap durung Jawa, tidak njawani,
atau belum dewasa dari sisi kawruh atau pengetahuan (Zustiyantoro, 2012).
Kini,
konvensi budaya itu masih senantiasa digunakan pada sastra Jawa modern. Karena
bagaimanapun, sastra Jawa merupakan sastra nasihat, yang di dalamnya penuh
dengan wejangan yang berguna bagi kehidupan masyarakat pembacanya (Damono,
2000). Akan tetapi, dalam kaitannya dengan sastra yang lebih populer, sastra
Jawa hadir dengan berbagai penyederhanaan simbol. Di era modern, pengarang
semakin perlu melakukan hal itu supaya karya yang mereka buat dibaca oleh
banyak orang.
Hingga kini,
konvensi budaya Jawa masih tergambarkan dalam karya sastra Jawa modern. Pada 14
September 2013, misalnya, Panjebar Semangat memuat
cerkak Ngempet karya Suparto Brata. Ketidakberdayaan untuk menyuarakan
pendapat dan melawan, diceritakan dalam cerita itu. Saya menyuguhkan analisis
cerkak itu dengan teori semiotik model Subur Wardoyo (2005).
Gambar 2:
Ilustrasi gambar pada cerkak “Ngempet” karya Suparto Brata (Panjebar Semangat,
2013).
Berdasar
pembacaan saya, narasi Ngempet bertumpu atas binary
opposition: hidup dalam ketertundukan versushidup dalam kebebasan.
Oposisi tersebut menjadi pancang bagi sebuah struktur skema naratif dasar: [Aku
duduk--Aku berlari--Aku mengajak ngobrol dan berkirim pesan singkat].
Skema
naratif dasar ini berkisar dari tokoh Aku yang hampir selalu dikisahkan pada
posisi duduk. Pada awal cerita, Aku naik angkutan dari rumah Rungkut ke
Jayabaya dan kemudian naik ojek dari Jayabaya ke Osowilangun. Setelah itu, Aku
melanjutkan perjalanan dengan naik bus dari Osowilangun ke Bojonegoro. Duduk
merupakan ketertundukan dan ketidakmampuan Aku pada rasa ingin kencing yang
sudah dirasakan semenjak dari pos ojek Osowilangun.
Selain itu,
pada pergantian naik angkutan satu ke angkutan yang lain, Aku juga selalu
berlari. Termasuk ketika Aku meminta kondektur bus menunggu sejenak di terminal
Bunder, karena Aku sudah tidak tahan lagi ingin kencing. Namun setelah masuk ke
dalam toilet, karena punya kebiasaan sulit kencing, Aku kesulitan dan tidak
tuntas dalam mengeluarkan air kencing. Hal itu dialaminya:
[...] Mlebu
toilet, clana dakbukak, kathok njero dakcincingke, dakcurake… ndadak angel
metune. Pancen aku duwe penyakitan kaya ngono. Angger mbayangake arep mlebu
jedhing, rasane ora kena diempet, bareng wis cucul, diedenke uyuh angel metune.
Ngono uga ing toilet kuwi. Metune mung sithik-sithik, kudu sabar yen ngenteni
nganti tuntas. Ning ya ora ndang tuntas.
Sepanjang
cerita, Aku juga melakukan aktivitas berbincang dengan tukang ojek dan orang di
bangku sebelah di dalam angkot dan bus. Hal ini dilakukan agar Aku sedikit
terlupakan pada kencing yang selalu ditahan. Selain itu, Aku juga sesekali
berkirim pesan kepada orang yang bakal menjemput di terminal Bojonegoro.
Kondisi macam ini nampak:
Aku SMS Mas
Hoery, “Numpak bis Moedah. Aku gebled pipis, ning bise wis mlayu banter ing
jalan tol.”
Dunia
kebebasan sebagai oposisi biner yang ingin dibangun dalam cerita, berupa
keadaan di sekitarnya. Di saat Aku hanya bisa duduk dan ngempet, tukang ojek
bebas bercerita tentang kisah hidupnya yang tidak mendapat balsem (bantuan
sosial sementara). Setelah itu, di dalam angkutan, Aku juga melihat orang
dengan bebas naik-turun kendaraan yang ia tumpangi. Kebebasan juga tercermin
ketika datang dua orang pengamen cantik yang bersuara merdu. Sebuah hal
paradoks dengan keadaan Aku yang tak bisa berbuat banyak karena menahan rasa
ingin kencing.
Berdasar
hasil analisis, Aku yang bersedia menumpang ojek dan mengatakan “Nggih,
pun, ngga!” sebagai signifier utama dalam cerkak ini. Kesanggupan Aku
untuk naik ojek merupakan index dari seluruh beban psikologis bawah sadar tokoh
Aku. Kalimat itu manandaskan bahwa untuk menuju Osowilangun, Aku memutuskan
untuk naik ojek daripada naik bus kota. Hal itu dia lakukan karena selain
tukang ojek yang mampu membujuk, Aku juga meyakini bahwa naik ojek akan
memangkas waktu tempuh. Dan, hal yang paling utama, tokoh Aku ketika itu telah
merasakan ingin kencing, selain waktu untuk menunggu bus kota juga lama. Tanpa
berpikir panjang, Aku segera berkata, “Nggih, pun, ngga!” ketika
tukang ojek menawarkan jasanya. Tukang ojek pun berkata:
[...] “Ojek
mawon, Pak. Dangu. Sajam melih baru enten. Sabtu bise dikurangi. Ngojek kula Rp
20.000 sampek teng terminal. Ngge pelarisan, regi bensin 13, opah ngojek 7
ewu,” ana tukang ojek nawani aku. Penyakit, aku wis krasa gebled ngyuh, becik
enggal tekan terminal Osowilangun, nguyuh kana. “Nggih, pun, ngga!” Aku numpak
ojek, werrr!
Kemudian,
kesanggupan untuk ngempet air kencing dilakukan tokoh Aku
hingga naik angkutan berikutnya. Meskipun sudah kencing di toilet saat bus
singgah di terminal Bunder, akan tetapi Aku tidak tuntas dalam mengeluarkan air
seninya. Walhasil, Aku harus kembali ngempet.
Ketertundukan
Aku pada ngempet juga tercermin sepanjang cerita. Aku selalu
berada dalam posisi duduk dan berlari. Duduk saat berada di atas angkutan, dan
lari ketika harus berganti dan naik angkutan kembali. Semua hal itu konsisten
dia lakoni karena punya kesanggupan, “Nggih, pun, ngga!”
Secara
keseluruhan, cerita Ngempet mempunyai makna yang mendalam.
Bagi masyarakat Jawa yang tidak bisa selalu terbuka dalam banyak hal, Ngempet merupakan
kritik sosial. Seseorang yang bahkan untuk kebutuhan mendasar pun, yakni kencing,
sampai tidak terpenuhi dan memperjuangkan “hak” itu sendiri. Budaya Jawa yang
mengajarkan masyarakatnya untuk selalu mengungkapkan segala sesuatu secara
samar dan tidak blak-blakan, pada tataran tertentu adalah hal yang tidak
menyenangkan.
Meskipun
kemudian Ngempet juga bukti bahwa, masyarakat Jawa selalu
ingin menahan banyak hal yang diinginkannya. Hal ini saya anggap sebagai nilai
moral yang masih relevan hingga saat ini, karena di tengah arus modernisasi
yang mengarah pada konsumerisme, masyarakat modern seakan ingin mendapatkan
segala karena keinginan, bukan kebutuhan. Semua barang ingin didapat, tanpa
memperhatikan kegunaan dan berapa banyak uang yang dikeluarkan. Dalam tataran
inilah, ngempet mampu pula menjadi auto kritik bahwa segala
keinginan hendaknya diempet, untuk kemudian dipikirkan dan
direnungkan kembali. Terlebih lagi, hal ini akan sangat berarti ketika harus
memutuskan hal-hal besar yang bakal memiliki pengaruh terhadap kehidupan
pribadi, keluarga, maupun masyarakat.
***
Dalam khazanah
sastra Jawa, cerita bertema pesugihan pun masih senantiasa diciptakan hingga
kini. Hal itu karena majalah Panjebar Semangat—sebagai salah satu
majalah mingguan berbahasa Jawa terbesar—masih menyediakan kolom Alaming
Lelembut dalam setiap kali penerbitannya yang, menurut saya, menjadi
pemicu genre sastra bertema mistis dan gaib.
Dalam
tataran realitas, banyak tempat di Jawa masih diyakini dihuni oleh makhluk gaib
yang dapat dimintai bantuan untuk mendatangkan rezeki dalam tempo singkat.
Tempat-tempat itu, yang biasanya diceritakan berlatar hutan atau pegunungan,
tak lepas dari kepercayaan masyarakat Jawa yang percaya terhadap kekuatan lain
di luar manusia dan Tuhan. Ada korelasi antara cerita rakyat dengan kehidupan
alam dan kepercayaan terhadap makhluk gaib yang memiliki kekuatan untuk
membantu berbagai urusan manusia.
Gambar 3:
Ilustrasi gambar pada cerkak “Dhanyang Pesugihan” (Panjebar Semangat, 2011).
Cerita
pesugihan selalu dimulai dengan kegagalan seseorang, entah dalam membina rumah
tangga, gagal karena tidak dapat mendapatkan pasangan yang dikehendaki, hingga
gagal secara ekonomi. Tokoh yang mengalami hal ini sering digambarkan mempunyai
tubuh dan wajah yang, kalau tidak buruk, pastilah sangat rupawan. Tidak ada
yang yang digambarkan secara “biasa-biasa” saja. Hal itu kemudian membuat tokoh
frustasi dan putus-asa dalam menjalani hidup di tengah masyarakatnya. Dia
merasa rendah diri karena tidak bisa dadi wong, sebutan untuk orang
Jawa yang dapat hidup normal, yakni punya istri, berkeluarga dan berkecupan.
Pesugihan
tentu saja bertentangan dengan budaya Jawa. Mengambil pesugihan tidak sejalan
dengan tatanan yang terdapat dalam budaya Jawa. Pesugihan merupakan cara cepat
untuk meraih kemuliaan tanpa berusaha secara wajar, dan itu tidak dibenarkan.
Di sisi lain, pesugihan yang meminta syarat berupa tumbal nyawa yang harus
selalu diberikan secara rutin juga merugikan orang lain. Setidaknya hal itu
bertentangan dengan tatanan Jawa: pasrah, alon-alon waton
kelakon, dan aja gawe sengsaraning liyan.
Kepercayaan
akan dunia mistis yang banyak didapati dalam cerita rakyat Jawa tersebut
disebabkan latar belakang masyarakat Jawa yang tidak terlepas dari animisme dan
dinamisme. Termasuk pula, dalam ranah kebudayaan, masyarakat Jawa selalu ingin
hidup untuk selaras dengan alam. Dalam berbagai kesempatan, mereka sering
menggelar ritual untuk menghormati alam dan kekuatan lain.
Dalam cerita
pesugihan, nama tempat yang dapat dikunjungi untuk meminta pesugihan sering
disamarkan atau tidak disebutkan. Hanya disebutkan di gunung atau alas yang
angker dan memang sudah terkenal dapat dimintai pesugihan. Tempat itu didatangi
oleh “mereka yang telah putus asa”. Selain itu, pesugihan dapat pula diminta
kepada “orang pintar”. Karena faktor sosial dan tekanan atas banyak hal,
seseorang bisa memutuskan untuk mencari kemuliaan dengan cara seperti itu.
Pesugihan,
seperti yang kita tahu, selalu meminta tumbal atau korban nyawa yang harus
selalu diberikan secara berkala. Bila tidak, dhanyang pesugihan
sendiri yang akan “memakan” si majikan. Memang, tak lama setelah datang kepada
“orang pintar” untuk meminta pesugihan, seseorang akan mendadak mendapat
kemuliaan. Namun dia harus konsisten atas apa yang telah menjadi perjanjian:
mengorbankan nyawa keluarga atau saudaranya.
Hingga kini,
masih banyak dijumpai pesugihan–baik yang hadir sekadar sebagai cerita atau
diyakini sebagai kenyataan–yang menjadi perbincangan masyarakat Jawa. Di tengah
mereka, hal-hal yang berkaitan dengan kehilangan uang secara tiba-tiba,
langsung dikaitkan dengan adanya tuyul yang mengambil. Termasuk bila melihat
tetangga yang mendadak sugih, tanpa menampakkan jerih payah terlebih
dahulu. Hal seperti itu, dinilai sebagai hal yang tidak wajar dan lekat dengan
ciri orang yang mengambil pesugihan. Hal itu karena, sekali lagi,
masyarakat Jawa punya prinsip alon-alon waton kelakon dan
tidak terbiasa dengan perubahan yang serba mengejutkan (Mulder, 1984). Karena
hal itu, semua hasil yang telah diperoleh harus “ditampakkan” juga usaha-usaha
untuk meraihnya. Bila ada yang seolah tak sesuai dengan prinsip ini, boleh jadi
seseorang dalam kehidupannya di masyarakat akan dicurigai memiliki pesugihan.
***
Menurut
saya, adalah hal yang menggembirakan jika semakin banyak karya sastra yang
ditulis dengan kesadaran pascakolonial. Karena dengan cara seperti itu, sastra
akan berfungsi sebagai representasi atas kahanan: sastra akan
banyak berbicara tentang relasi kekuasaan global serta kondisi khas masyarakat
pascakolonial yang menjadikan kritik dan perlawanan sebagai ciri utama. Dan,
sejauh mana kita mendapati hal itu dalam jagat sastra Jawa modern?
[*] Prasaran
untuk diskusi putaran keempat Forum Studi Morfem Bebas, Rabu, 26 Maret 2014, di
kediaman Sendang Mulyana, Perum Trangkil, Gunungpati, Semarang.
Rujukan
Bandel,
Katrin. 2013. Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas. Yogyakarta:
Pustaka Hariara.
Brata,
Suparto. Ngempet. Panjebar Semangat, 14 September 2013.
Cawelty,
John. J. 1976. Adventure, Mystery, and Romance: Formula Stories as Art
and Popular Culture. Chicago: The University of Chicago Press.
Damono,
Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan
Struktur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono,
Sapardi Djoko. 2000. Priyayi Abangan: Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an.
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Mulder,
Niels. 1984. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa. Jakarta:
PT Gramedia.
Panjebar
Semangat. 1961. Padmosusastro. Surabaya: Panjebar Semangat.
Utomo, Imam
Budi., dkk. 2002. Eskapisme Sastra Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
Ras, J.J.
(ed.). 1985. Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir. Jakarta: PT
Grafitipers.
Santosa,
Puji. 2013. Memotret Masyarakat Jawa pada Awal Abad Ke-20,
pengantar untuk buku Masyarakat Jawa & Budaya Barat: Kajian Sastra
Jawa Masa Kolonial (Suratno, 2013). Yogyakarta: Penerbit Adi Wacana.
Quinn,
George. 1995. Novel Berbahasa Jawa. Semarang: IKIP Semarang Press.
Wardoyo,
Subur. 2005. Semiotika dan Struktur Narasi. Kajian Sastra,
vol. 29, No. 1, Januari 2005.
Zustiyantoro,
Dhoni. Aja Kaget, Aja Panik, Apalagi Nekat! Esai di harian
Suara Merdeka, 18 Maret 2012.
cek kumpulan cerkak bahasa jawa
BalasHapuswww.kumpulan-cerkak.blogspot.co.id