TEORI SASTRA JAWA.
Sastra dan Bahasa Jawa
Genre Sastra Jawa
Sang Kawi, Pujangga dan
Pengarang
Khasanah Sastra Jawa
Kuna
A. Munculnya Sastra Jawa Kuna
B. Hasil Karya Sastra Jawa Kuna
C. Penentuan Umur Karya Sastra Jawa Kuna
D. Metrum Kakawin dan Kidung
E. Sarana Penulisan Sastra Jawa Kuna
Khasanah Sastra Jawa
Modern
A. Sastra Prosa Jawa Modern
B. Sastra Puisi Jawa Modern
C. Sastra Drama Jawa Modern
SASTRA: HAKIKAT,
FUNGSI, GENRE, DAN UNSUR-UNSURNYA
A. Pengertian dan
Hakikat Sastra
Sastra, mungkin
telah ada sejak
manusia ada. Bersamaan
dengan perkembangan manusia dan
kebudayaannya, sastra juga
berkembang menurut situasi
dan kreasi manusianya. Dengan
demikian, sejalan dengan
pengelompokan-pengelompokan
manusia serta kebudayaannya, sastra
juga berkembang dalam
kelompok-kelompok itu. Barangkali
hal seperti inilah
yang hingga saat
ini menjadikan sastra
memiliki keumuman sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia
yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, setiap karya sastra
demikian halnya. Wellek & Warren (1993), secara agak optimis, menuliskan
bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang
sama dengan karya
seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap
karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau
kesenian pada umumnya.
Pernyataan Wellek &
Warren di atas, tentu saja harus dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg, dkk.,
(1989), bahwa menurut
mereka tidak mungkin
memberikan sebuah definisi yang
universal mengenai sastra.
Sastra bukanlah sebuah
benda yang dijumpai, sastra adalah
sebuah nama yang
dengan alasan tertentu
diberikan kepada sejumlah
hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.
Barangkali inilah
titik pangkal dari
permasalahan kajian sastra
yang pertama kali muncul, yakni perihal tidak pernah
terjawabnya (dengan memuaskan)
pertanyaan apakah sastra itu? karena terlalu kompleksnya sesuatu yang disebut
sastra itu. Arti sastra yang
sangat kompleks itu
telah mengaburkan batasan
sastra sebagai obyek kajian
keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw (1984) menuliskan bahwa meskipun sudah cukup
banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas
atas pertanyaan, apakah sastra itu ? namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para ilmuwan tidak kesampaian. Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu atau beberapa
aspek saja, atau
hanya berlaku untuk
sastra tertentu saja,
atau sebaliknya, terlalu luas
dan longgar sehingga melingkupi
banyak hal yang
jelas bukan sastra
lagi.
Menurut Luxemburg dkk
(1989) kegagalan definisi itu antara lain sebagai berikut.
1. Karena
orang ingin mendefinisikan terlalu
banyak sekaligus, sering menggunakan dua kriteria sekaligus,
sering menggunakan definisi deskriptif dan definisi evaluatif
sekaligus, dengan menuilai
baik dan tidaknya
suatu karya sastra.
2. Karena menggunakan definisi
ìontologisî mengenai sastra, yakni mengungkap hakikat sebuah
karya sastra. Padahal
mengingat kompleksnya obyek
sastra, mestinya sastra didefinisikan
di dalam situasi
pemakai atau pembaca
sastra. Norma dan deskripsi sering dicampuradukkan, padahal
suatu karya bagi
satu orang bisa termasuk sastra, bagi orang lain mungkin tidak.
3. Anggapan mengenai sastra
sering ditentukan oleh sastra
Barat, khususnya sejak jaman renaisance,
tanpa memperhitungkan
bentuk-bentuk sastra di
luar Eropa. Sastra India, Melayu,
Jawa dan sebagainya tentu memiliki
kekhasannya masing-masing, apalagi kalau dipisahkan dari jaman-jaman
tertentu.
4. Definisi oleh ahli yang sering memuaskan
untuk diterapkan pada sejumlah jenis sastra,
tidak cocok untuk diterapkan pada sastra secara umum. Pada berbagai
hal secara umum,
untuk mendefinisikan sesuatu itu
dapat didekati dari namanya.
Secara etimologis, kata sastra dalam bahasa Indonesia (dalam bahasa Inggris sering
disebut literature dan dalam bahasa Perancis disebut litterature) berasal dari
bahasa Sanskerta: akar kata ësas-, dalam
kata kerja turunan berarti ìmengarahkan,
mengajar, memberi petunjuk atau instruksiî. Akhiran -tra, biasanya menunjukkan
alat, sarana. Jadi sastra dapat
berarti ìalat untuk mengajar, buku
petunjuk, buku instruksi
atau pengajaran.
Kata lain yang sering
dipergunakan ialah kata susastra yang berasal dari kata sastra mendapat
awalan su- yang berarti baik, indah.
Jadi kata suastra dapat berarti sastra
yang baik atau
sastra yang indah
yang dalam bahasa Perancis
atau Inggris dipergunakan istilah
belles-lettres. Menurut Gonda kata susastra tidak dipergunakan dalam bahasa
Jawa Kuna, sehingga istilah susastra adalah ciptaan Jawa atau Melayu yang
muncul kemudian (Teeuw, 1984).
Batasan secara
etimologis tersebut, juga belum maksimal. Tidak semua alat untuk mengajar bisa
dikategorikan sebagai sastra, walaupun dalam arti sebaliknya,
semua sastra dapat dipergunakan
sebagai alat untuk mengajar. Luxemburg, dkk. (1989) menyebutkan sejumlah faktor
yang dewasa ini mendorong para
pembaca untuk menyebut
teks ini sastra
dan teks itu
bukan sastra, yakni
sebagai berikut.
(1) Yang dikaitkan
dengan pengertian sastra ialah teks-teks yang tidak melulu untuk tujuan
komunikatif praktis yang bersifat sementara waktu saja.
(2) Bagi sastra
Barat dewasa ini
kebanyakan teks drama
dan cerita mengandung fiksionalitas. Bagi
orang Yunani dahulu,
fiksionalitas tidak relevan
untuk membatasi pengertian sastra,
dan di Cina
dahulu teks-teks rekaan
justru tidak dianggap sastra.
(3) Dalam hal
puisi lirik, dipergunakan
konvensi distansi untuk mengambil jarak sehingga tidak setiap puisi lirik
dinamakan rekaan.
(4) Bahan sastra
diolah secara istimewa
dan dengan cara
yang berbeda-beda sehingga misalnya,
pengertian bahasa puitik
tidak pernah bisa
dibatasi secara mutlak.
(5) Sebuah karya
sastra dapat dibaca menurut tahap-tahap
arti yang berbeda-beda. Perbedaan-perbedaan itu
tergantung pada mutu
sastra yang bersangkutan
dan kemampuan pembaca dalam
menggauli teks-teks sastra.
(6) Karya-karya bukan
fiksi dan juga
bukan puisi, karena
ada kemiripan tertentu digolongkan dalam sastra, yakni
karya-karya naratif, seperti biografi-biografi dan karya-karya yang
menonjol karena bentuk
dan gayanya. Surat-menyurat antar sastrawan lebih mudah dikategorikan
sebagai sastra daripada antar sejarawan.
(7) Terdapat
karya-karya yang semula tidak masuk
sastra, kemudian dikategorikan sastra. Misalnya kitab-kitab babad bukan
sekedar penulisan sejarah tetapi sastra.
Wellek & Warren
(1993) mencatat bahwa untuk mendefinisikan sastra ada beberapa cara, yakni
sebagai berikut.
(1) Salah satu
batasan sastra adalah
segala sesuatu yang
tertulis atau tercetak. Pengertian ini
seperti pengertian etimologis pada kata literature
(Inggris). Jadi ilmuwan sastra
dapat mempelajari profesi
kedokteran, ekonomi, dsb.
Dengan demikian seperti yang
dikemukakan Edwin Greenlaw (teoritikus
sastra Inggris) bahwa segala sesuatu
yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk dalam wilayah sastra. Demikian pula menurut banyak
praktisi ilmu lain,
sastra bukan hanya berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan tetapi memang
identik. Dalam hal ini Wellek
& Warren mengomentari
bahwa akhirnya studi
semacam ini bukan studi
sastra lagi. Studi
yang berkaitan dengan
sejarah kebudayaan cenderung
menggeser studi sastra
yang murni, karena dalam
studi kebudayaan semua perbedaan
dalam teks sastra diabaikan. Bagi sastra
Jawa, seperti halnya pada banyak
budaya lain, batasan seperti ini
tidak menguntungkan karena Jawa memiliki tradisi sastra lisan yang
sangat kuat.
(2) Cara lain
untuk membatasi definisi
pada sastra adalah
membatasi pada mahakarya (great
books), yaitu buku-buku
yang dianggap ìmenonjol
karena bentuk dan ekspresi
sastranya. Dalam hal ini kriteria
penilaiannya adalah segi estetis atau
nilai estetis dikombinasikan dengan nilai ilmiah. Di antara puisi lirik, drama dan
cerita rekaan, mahakarya dipilih
berdasarkan pertimbangan estetis. Sedang buku-buku
lain dipilih karena
reputasinya atau kecemerlangan ilmiahnya, ditambah
penileian estetis dalam
gaya bahasa, komposisi,
dan kekuatan penyampaiannya. Dalam
hal ini sastra
atau bukan sastra
ditentukan oleh penilaian. Di
samping itu sejarah,
filsafat dan ilmu pengetahuan termasuk dalam sastra.
Dalam sastra Jawa
kuna dan sebagian
sastra Jawa modern, memang banyak karya sastra yang
berisi ilmu pengetahuan atau sejarah,
namun sering dikategorikan sebagai
karya sastra karena
gaya bahasanya, antara
lain Negarakertagama (Jawa
kuna) dan karya
sastra Babad (Jawa
modern) yang sebagian besar
berisi sejarah.
(3) Menurut Wellek
& Warren, pengertian sastra yang paling tepat diterapkan pada seni sastra,
yakni sastra sebagai
karya imajinatif. Istilah
lainnya adalah fiksi (fiction) dan
puisi (poetry), namun
pengertannya lebih sempit.
Sedang penggunaan istilah sastra
imajinatif (imaginative literature)
dan belles latters (tulisan yang indah dan sopan) kurang
lebih menyerupai pengertian etimologis kata susastra,
dinilai kurang cocok
dan bisa memberi pengertian
yang keliru. Istilah Inggris,
literature, juga lebih sempit pengertiannya. Istilah yang agak luas pengertiannya dan
lebih cocok adalah
istilah dari Jerman
wortkuns dan dari Rusia slovesnost.
(4) Cara lain
yang dilakukan untuk
memecahkan definisi sastra
adalah melalui kategorisasi
bahasa. Bahasa adalah media yang dipergunakan oleh sastra. Namun demikian sastra
tidak memiliki media
secara khusus, karena
bahasa juga dipergunakan sebagai
media komunikasi oleh bidang keilmuan lain. Oleh karena itu membatasi sastra
dari segi bahasanya juga tidak sesederhana itu.
Wellek & Warren (1993) juga menyatakan
bahwa untuk melihat penggunaan bahasa yang
khas sastra, harus
dibedakan antara bahasa
sastra, bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. Hal ini pernah dilakukan oleh Thomas Clark
Pollock dalam bukunya The Nature of Literature.
Namun demikian buku
itu tidak memuaskan
terutama dalam membedakan bahasa sastra dengan bahasa
sehari-hari. Antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra memang agak mudah
dibedakan. Bahasa ilmiah bersifat denotatif
, yakni ada
kecocokan antara tanda
(sign) dengan yang
diacu (referent). Jadi
bahasa ilmiah cenderung menyerupai sistem
tanda matematika atau logika simbolis.
Bahasa sastra,
dibanding bahasa ilmiah, penuh
ambiguitas dan homonim (kata-kata yang
sama bunyinya tetapi
berbeda artinya), serta
memiliki kategori-kategori yang
tak beraturan dan tak
rasional. Bahasa sastra
juga penuh dengan
asosiasi, mengacu pada ungkapan
atau karya yang
diciptakan sebelumnya. Dengan kata
lain bahasa sastra
sangat konotatif sifatnya.
Bahasa sastra memiliki fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap pembicara
atau penulisnya. Bahasa
sastra berusaha mempengaruhi,
membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap
pembaca. Disamping itu yang
dipentingkan dalam bahasa sastra
adalah tanda, simbolisme
suara dari kata-kata.
Berbagai teknik diciptakan
untuk menarik perhatian pembaca.
Membedakan antara
bahasa sastra dengan
bahasa sehari-hari lebih
sulit. Bahasa sehari-hari
sering juga bersifat ekspresif.
Yang jelas, perbedaan pragmatisnya ialah bahwa segala sesuatu
yang mendorong orang untuk
melakukan tindakan langsung yang kongkrit sukar untuk diterima
sebagai puisi (baca: sastra) (Wellek & Warren, 1993). Dalam hubungannya
dengan bahasa, khususnya
bahasa tulis, Teeuw
(1984) memberikan beberapa catatan sebagai berikut.
(1) Dalam sastra
tulis terdapat keindahan
bahasa, yakni pemakaian
bahasa yang tepat dan
sempurna. Disamping itu
dalam sastra tulis
sering memberi banyak kemungkinan untuk
menciptakan keambiguan, makna
ganda, yang sering dianggap sebagai ciri khas bahasa
sastra.
(2) Dalam sastra
tulis, ambiguitas diri
penulis yang tidak
langsung dihadapi oleh pembaca,
sering dimanfaatkan bahkan
dieksploitasi secara sangat
halus. Tokoh aku dalam karya sastra belum tentu identik dengan
penulisnya.
(3) Karena hubungan
antara karya sastra
dengan penulisnya terputus,
dengan sendirinya tulisan itu
menjadi sangat penting
dan mandiri. Jadi
karya sastra bukanlah tindak
komunikasi biasa dan
memunculkan bermacam-macam konvensi
yang harus dikuasai pembaca dalam memahami sastra
(4) Sastra adalah
dunia dalam kata
dan dalam pemahamannya
tidak dibantu lagi oleh penulisnya sehingga tergantung pada
kata.
(5) Tulisan dapat
diulang baca, sedang
konvensi sastranya dapat
berubah-ubah sehingga interpretasi sastra dapat ditinjau lagi
disesuaikan dengan informasi baru.
(6) Reproduksi sastra
sangat mungkin terjadi
sehingga dimungkinkan terjadinya perubahan atau pemantapan
sehingga terjadi variasi makna. Bagi
peneliti hal itu justru memperluas
lahan kajian. Bagi
pembaca memungkinkan terpenuhi seleranya.
(7) Reproduksi sastra
dalam berbagai jaman,
berbagai bahasa dan
budaya menjadikan sastra menjadi gejala sejarah dengan segala akibatnya.
Saat ini orang bisa membaca karya Homeros 30 abad yang lalu, atau karya
Prapanca pada abad XIV.
Kesinambungan kebudayaan sebagian
besar tergantung dari
penemuan tulisan dan abjad. Namun
demikian penafsiran sastra
kadang menjadi berbeda dari masa
ke masa. Perbedaan penafsiran itu
menjadi permasalahan apakah hal ini justru
sebagai kekayaan sastra
atau sebaliknya, harus
berusaha menginterpretasi sesuai dengan maksud awal (asli)-nya. Teeuw (1984)
menegaskan bahwa sastra
bukan hanya dalam
rangka sastra tulis, karena
ada sastra yang
hidup dan berkembang
dalam bentuk sastra
lisan. Tujuh catatan dalam hubungannya dengan sastra tulis
di atas tidak serta merta dapat diterapkan pada sastra lisan, namun
setidak-tidaknya terdapat kemiripan terutama pada nomor 1, 2, dan 5. Dalam sastra sering
sekali ada bentuk
campuran antara sastra
tulis dengan sastra lisan, misalnya banyak tersebar di
Indonesia. Pada akhirnya
Teeuw (1984) berkesimpulan
bahwa tidak ada
kriteria yang jelas yang
dapat diambil dari
perbedaan pemakaian bahasa
lisan dan bahasa
tulis untuk membatasi sastra
sebagai gejala yang
khas. Ada pemakaian
bahasa lisan dan
tulis yang sastra, ada pula yang bukan sastra;
sebaliknya ada sastra tulis dan ada
sastra lisan. Tolok ukur untuk
membedakan sastra dan bukan sastra harus dicari di bidang lain. Dengan demikian
semakin komplekslah permasalahan
yang dihadapi untuk memberikan batasan
antara sastra dan
bukan sastra. Namun
demikian ada sejumlah pengertian yang
berlaku pada zaman
Romantik yang menurut
Luxemburg dkk (1989) hingga saat ini masih selalu dipakai,
sebagai berikut.
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi
(Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut
dengan nama Prasasti Sukabumi
ini bertarikh 25 Maret tahun 804
Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856
M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini
adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari
Sastra Jawa Tengahan. Selain itu, ada pula Sastra
Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda,
Sastra
Jawa-Madura, dan Sastra
Jawa-Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling
berkembang dan paling banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah
proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak dianaktirikan karena di Negara
Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India
Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih dipakai sampai
sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam
pada abad ke-15 dan ke-16, huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa
Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf pegon.
Ketika bangsa Eropa menjajah Indonesia, termasuk Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis
bahasa Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar