FILOSOFI TEMBANG MACAPAT
11 tembang Macapat dan 1 tembang wirangrong mempunyai pengertian secara filosofi kalau diurutkan sebagai berikut :
1. Nama tembang “ mijil “ artinya = lahir
2. Nama tembang “ Maskumambang “ = emas yang mengapung diatas air mengandung penafsiran sebagai ‘ air mata “. Air mata keluar karena suka ataupun duka, maka bisa dibilang irama tembang maskumambang itu mengharukan, jika seseorang merasa “ terharu ‘ akan keluar air mata baik karena sedih atau senang.
3. Nama tembang “ Kinanti “ pengertian kinanti dari kinanten yang artinya di gandeng ( di tuntun )
4. Nama tembang “ Sinom “ asal kata si + enom yaitu berarti muda atau remaja
5. Nama tembang “ Dandanggula “ berasal dari dandang + gula . danfang artinya angan-angan, gula artinya manis. Jadi danfanggula = angan-angan yang manis
6. Nama tembang “ Asmaradana “ asal kata , asmara + dahana, asmara = cinta, dahono = api. Jadi asmorodono = api cinta
7. Nama tembang “ Durma “ dari kata “ Nundur toto kromo “ ( tidak beretika, kurang mengenal sopan santun )
8. Nama tembang “ Gambuh “ dari kata “ gampang nambuh “ ( mempunyai pengertian cuek, atau acuh tak acuh )
9. Nama tembang ‘ Pangkur ” dari pengertian “ ngepange pikir arep mangkur “ ( pikiran yang bercabang karena usia tua )
10. Nama tembang “ Megatruh “ dari pengertian megat + ruh. Megat ( misah, perpisahan ) ruh ( sukma, roch ) jadi megatruh = misahnya sukma raga ( meninggal )
11. Nama tembang “ Pucung “ dapat diartikan “ pocong “ ( orang meninggal di bungkus kain putih )
12. Nama tembang “ Wirangrong “ pengertian sederhana. Wirang + rong. Wirang = malu, rong = goa di tanah. Rong dapat diartikan “ lobang di tanah “. Jadi wirongrong mengandung pengertian ‘ bila hidup tidak berperilaku baik, maka rasa malu terbawa sampai ke liang lahat apabila telah meninggal dunia “
Berikut adalah penjelasan secara lengkap mengenai tembang Macapat berdasarkan urutan filosofi tembang.
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan
perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di
rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir
ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa
tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak
hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir
ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan
tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah
bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua
bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku
prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat.
Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi
Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
2. MASKUMAMBANG
Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak
terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang
lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira
yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati
senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat
menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan
demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya
malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas
segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa
depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua,
nusa dan bangsa.
3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak
yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan
berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan
harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati
tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan
mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang
harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing)
agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan
dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua
menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya
tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup
masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih
sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk
menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda)
hidupnya sering salah kaprah.
5. DHANDANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana.
Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya
dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar
melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi
tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan
menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak
baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya
bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api
neraka, namun tak akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau mengikuti
kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi
bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang
penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka,
bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit,
sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup
irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting
apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api
asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa
sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada
hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada
pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca
indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan
raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara.
Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang
pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak
pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran
gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat
hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan
menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup
mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua
membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar
lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak
mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang
sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka
berpangku namun pandailah memanfaatkan waktu. Agar cita-cita
dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah
dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu.
Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah
sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh.
Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar
merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat
mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau
hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya
berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri
kemana-mana terus berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah
dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang
pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang
didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi.
Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan
menghayati. Bila merasa ada yang kurang, menjadikannya sakit hati dan
rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri.
Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah
dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan
kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar
ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu
menjadi mati.
8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal banyak tokoh
dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana,
Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah
menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif
(awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura
sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala,
durniti, durta, durtama, udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk
mengingatkan sekaligus menggambarkan keadaan manusia yang cenderung
berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang
dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara
manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti
rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi.
Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri
selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar
menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya
yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka
bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka
hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang
(mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia
terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia
lakukan, hingga kini yang ada tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu
tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina
dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta
sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang
dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja,
sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan mati pun
sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji,
tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji.
Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu
untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun
sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak
melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa
lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi
bathang..!!
10. MEGATRUH
Megatruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh.
Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga
manusia banyak yang disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki diri.
Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan
pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga.
Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan
di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan
yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini,
kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih
kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama.
Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya
rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama
manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat
tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna
tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia
baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam
meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa
benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun
tindakanya ia merasa paling pintar, namun segala keburukannya
dianggapnya demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang sejati,
sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri
sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain
kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak
dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian
justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup
di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai
lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan
dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi
azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak
mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat
raga sendiri dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana sentuh sini tak
ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa
kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih
ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang.
Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi
terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga
sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh
jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit
dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung
mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri semua bikin
gelisah hati. Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa
meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun
yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana
tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput.
Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan,
yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan. Malah-malah yang
suka menuduh menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah.
Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar
menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang
ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados
niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan
ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan
diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih
baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar
menjadi memedi.
12. WIRANGRONG
Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir,
musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu
menjadi anugrah dan bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri
pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus saling asah asih dan
asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti
mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli,
memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia
lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai
kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning
bawana, rahmatan lil alamin.
Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke
liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut
segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang
kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak,
cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun
tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat,
pandai maupun bodoh keparat, yang jelata maupun berpangkat, tidak
pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak
bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat,
namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat.
Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa, yakni segenap jiwa
dan raganya.
Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan
kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu
hanya akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi.
Orang kaya namun pelit dan suka menindas, orang miskin namun kejam dan
pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun
suka mencelakai sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam
kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan
salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang
sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak ada lagi
secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.
Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang
sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta.
Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain
halnya manusia yang berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di
alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi,
kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala
tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali
menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang
gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng
tan owah gingsir.
http://pena-batang.blogspot.com/feeds/posts/default
Tidak ada komentar:
Posting Komentar